WHO
WHO is the directing and coordinating authority for health within the United Nations system. It is responsible for providing leadership on global health matters, shaping the health research agenda, setting norms and standards, articulating evidence-based policy options, providing technical support to countries and monitoring and assessing health trends.In the 21st century, health is a shared responsibility, involving equitable access to essential care and collective defence against transnational threats. sumber: wikipedia
Sunday, November 2, 2008
DUNIA KESEHATANA - Melamin vs Kesehatan
Mengapa melamin berbahaya bagi kesehatan, bagaimana melamin bisa menggantikan protein?
Tubuh Tidak bisa mencerna zat melamin dan lama kelamaan akan mengkristal atau membatu dalam ginjal, kristal makin lama makin bertumpuk & terbentuklah batu ginjal yg bs menyebabkan ginjal tdk bs berfungsi (seperti tdk bs mencuci darah & tdk bs buang air kecil).
Kalaupun batu ginjal bisa dibuang, ginjal yg sudah terluka tdk bs sembuh sempurna seperti sedia kala & kemungkinan makin lama makin rusak & tdk berfungsi sama sekali & mengharuskan kita cuci darah di rumah sakit.
Unsur atau senyawa kimia melamin mirip dgn protein. Bentuk & tekstur nya juga mirip sekali dgn susu bubuk putih. Tidak berbau & berasa, makanya bisa dicampurkan ke dalam susu bubuk tanpa mencurigakan.
Lebih jauh mengenai melamin.
Melamin adalah bahan kimia berbasis organik yang banyak ditemukan dalam bentuk kristal putih dalam nitrogen. Melamin biasa digunakan sebagai bahan campuran plastik, pupuk dan produk pembersih. Melamin sendiri tidak memiliki unsur dan nilai nutrisi, sehingga bila dicampur dengan susu akan membuat kadar protein susu seolah lebih tinggi daripada aslinya.
Berdasarkan informasi yang terdapat dalam situs WHO, pencampuran melamin berawal dari tindakan pengoplosan susu dengan air. Jika susu dioplos dengan air, susu akan mengalami pengenceran dan protein yang terkandung dalam susu akan berkurang. Penambahan melamin dimaksudkan untuk mengelabui pengecekan agar susu yang encer tadi dikategorikan normal kandungannya.
Seperti dikutip situs lampung post, melamin dapat menyebabkan :
*
Gangguan metabolisme, terutama terhadap bayi dan anak-anak
*
Fungsi ginjal yang bertugas membuang racun dalam tubuh terganggu
*
Serangan akut pada saluran pencernaan, seperti muntah dan mencret
*
Kerusakan pada organ tubuh lainnya seperti gangguan pada fungsi otak, hati, ginjal, mata dan telinga
*
Merusak sistem kekebalan tubuh bayi dan anak-anak yang mengonsumsi susu bermelamin
Dinas Perindustrian dan Perdagangan (disperindag) bekerjasama dengan BPOM, Jenis dan merk produk makanan dari cina yg dilarang pemerintah, antara lain:
*
Yogurt bermerek Jinwei Yoguoo (susu fermentasi rasa aneka buah, rasa buah dan rasa netral/plain)
*
Susu full cream merek Guozhen
*
Indo Eskrim Meiji Gold Monas (rasa coklat dan rasa vanila)
*
Oreo (stik wafer, cocholate sandwich cookie)
*
Kembang gula coklat susu M&Ms
*
Snickers (biskuit nuget lapis coklat)
*
Makanan dan minuman merek Yili yakni Yili Bean Club Matcha Red Bean Ice Bar
*
Yili Red Bean Ice Bar
*
Yili Super Bean Chesnut Ice Bar
*
Yili Prestige
*
Yili High Calcium Low Fat Milk Beverage
*
Yili Choice Dairy Frozen Yogurt Bar With Real Peach and Pinepple Flavoured
*
Yili High Calcium Milk Baverage.
Produk makanan mengandung susu lain yang juga harus diamankan adalah:
*
Chocliz Dark Chocolate
*
Dutch Lady Strawbery Flavoured Milk (ekpor Cina, Hongkong dan Singapura)
*
Natural Choice Yogurt Flavoured Ice Bar With Real Fruit
*
Nestle Dairy Farm UHT Pure Milk (katering)
*
Kembang gula rasa coklat Dove Choc
*
Kembang gula White Rabbit Creamy Candy
sumber : berbagai sumber.
ANDA INGIN Info????, silahkan Klik :
Info Hotel di Bali
Blajar PHP
Mau Buat Aplikasi WEB
Bola
Bola Mania
Info Bola
Donload MP3 Free
Check Kesehatan anda
Berita Hari Ini
Daftar Nama-nama Hotel
Musik Jadul
Tentang Alam
Harga HP
MOTO GP
NETWORK
Desa'ku
NETWORK Bali
Cinta KU
Motor Plus
Ngopi
Kelamin anda
Donload Tragedi Dunia
Bibirnya Gosip
Laptop Ku
Tanamanku
Virus MU
Tuesday, October 14, 2008
DUNIA KESEHATAN - Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia
Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia : Cuci tangan dengan sabun merupakan kegiatan penting karena kegiatan ini sebagai implementasi dari paradigma baru dalam pelaksanaan program – program kesehatan.Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia merupakan Paradigma baru tersebut merupakan terjemahan dari amanat UUD 1945, bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Hal itu disampaikan Menteri Kesehatan, Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) dalam sambutan yang dibacakan drg. Naydial Roesdal, Msc.PH, Staf Ahli Menkes Bidang Pembiayaan dan Pemberdayaan Masyarakat pada peringatan Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia (HCTPS) di Lapangan Markas Besar Angkatan Udara (MBAU), Pancoran, Jakarta Selatan. Peringatan HCTPS ini merupakan acara peringatan yang pertama kali diselenggarakan sebagai jawaban dari seruan Rapat Umum PBB untuk meningkatkan praktik higien dan dan sanitasi di seluruh dunia.
Menurut Menkes, fokus HCTPS tahun 2008 adalah anak sekolah sebagai ‘Agen Perubahan’. Hal ini dimaksudkan bahwa anak-anak perlu membiasakan diri untuk melakukan cuci tangan pakai sabun. Dengan demikian, ini juga berarti mengajarkan anak-anak dan seluruh keluarga hidup sehat sejak dini sehingga pola hidup bersih dan sehat akan tertanam kuat di diri pribadi anak-anak dan anggota keluarga lainnya.
Acara ini serentak dilaksanakan di 50 negara seperti China, Bangladesh, India, Vietnam, Pakistan, dan Filipina di Asia; Madagaskar, Afrika Selatan, Uganda, Kenya, Mesir, Mali, dan Etiopia di Afrika; Kolombia, Peru, Nikaragua, dan Mexico di Amerika Latin; serta negara lain seperti Amerika Serikat dan Inggris.
Peringatan HCTPS ini dihadiri perwakilan Duta Besar negara peserta HCTPS, perwakilan badan-badan internasional seperti UNICEF, WHO dan melibatkan 5.000 anak dan 5.000 ibu di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.
Menurut Menkes, sejak 20 Agustus 2008 telah diresmikan pendekatan baru Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dan pada tanggal 9 September 2008 diterbitkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, di mana Cuci Tangan Pakai Sabun merupakan pilar kedua dari 5 pilar STBM. Dengan demikian diharapkan kegiatan ini akan terus menerus dilakukan sehingga mencakup seluruh desa. Hal ini juga merupakan bagian dari kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk Hidup Sehat dan mewujudkan seluruh desa menjadi Desa Siaga. Sehingga nantinya akan tercipta masyarakat yang berperilaku hidup bersih dan sehat, papar drg. Naydial Roesdal.
Berita Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon/faks: 021-5223002 dan 52921669, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id.
heheheh...Mulai peduli dengan kesehatan.......
Bravo Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia
Saturday, May 10, 2008
DUNIA KESEHATAN - Chemical safety
Chemical safety - http://health-solution-center.blogspot.com/
Dioxins and their effects on human health
Sources of dioxin contamination
Background
http://health-solution-center.blogspot.com/
-Dioxins are environmental pollutants. They have the dubious distinction of belonging to the “dirty dozen” - a group of dangerous chemicals known as persistent organic pollutants. Dioxins are of concern because of their highly toxic potential. Experiments have shown they affect a number of organs and systems. Once dioxins have entered the body, they endure a long time because of their chemical stability and their ability to be absorbed by fat tissue, where they are then stored in the body. Their half-life in the body is estimated to be seven to eleven years. In the environment, dioxins tend to accumulate in the food chain. The higher in the animal food chain one goes, the higher is the concentration of dioxins.
The chemical name for dioxin is: 2,3,7,8- tetrachlorodibenzo para dioxin (TCDD). The name ‘dioxins’ is often used for the family of structurally and chemically related polychlorinated dibenzo para dioxins (PCDDs) and polychlorinated dibenzofurans (PCDFs). Certain dioxin-like polychlorinated biphenyls (PCBs) with similar toxic properties are also included under the term “dioxins”. Some 419 types of dioxin-related compounds have been identified but only about 30 of these are considered to have significant toxicity, with TCDD being the most toxic.
http://health-solution-center.blogspot.com/ - Dioxins are mainly by products of industrial processes but can also result from natural processes, such as volcanic eruptions and forest fires. Dioxins are unwanted by products of a wide range of manufacturing processes including smelting, chlorine bleaching of paper pulp and the manufacturing of some herbicides and pesticides. In terms of dioxin release into the environment, waste incinerators (solid waste and hospital waste) are often the worst culprits, due to incomplete burning.
http://health-solution-center.blogspot.com/ - Although formation of dioxins is local, environmental distribution is global. Dioxins are found throughout the world in practically all media. The highest levels of these compounds are found in some soils, sediments and food, especially dairy products, meat, fish and shellfish. Very low levels are found in plants, water and air.
Extensive stores of PCB-based waste industrial oils, many with high levels of PCDFs, exist throughout the world. Long-term storage and improper disposal of this material may result in dioxin release into the environment and the contamination of human and animal food supplies. PCB-based waste is not easily disposed of without contamination of the environment and human populations. Such material needs to be treated as hazardous waste and is best destroyed by high temperature incineration.
Dioxin contamination incidents
Many countries monitor their food supply for dioxins. This has led to early detection of contamination and has often prevented impact on a larger scale. One example is the detection of increased dioxin levels in milk in 2004 in the Netherlands, traced to a clay used in the production of the animal feed. In another incident, elevated dioxin levels were detected in animal feed in the Netherlands in 2006 and the source was identified as contaminated fat used in the production of the feed.
Some dioxin contamination events have been more significant, with broader implications in many countries.
In July 2007, the European Commission issued a health warning to its Member States after high levels of dioxins were detected in a food additive - guar gum - used as thickener in small quantities in meat, dairy, dessert or delicatessen products. The source was traced to guar gum from India that was contaminated with pentachlorophenol (PCP), a pesticide no longer in use. PCP contains dioxins as contamination.
In 1999, high levels of dioxins were found in poultry and eggs from Belgium. Subsequently, dioxin-contaminated animal-based food (poultry, eggs, pork), were detected in several other countries. The cause was traced to animal feed contaminated with illegally disposed PCB-based waste industrial oil.
In March 1998, high levels of dioxins in milk sold in Germany were traced to citrus pulp pellets used as animal feed exported from Brazil. The investigation resulted in a ban on all citrus pulp imports to the EU from Brazil.
Another case of dioxin contamination of food occurred in the United States of America in 1997. Chickens, eggs, and catfish were contaminated with dioxins when a tainted ingredient (bentonite clay, sometimes called “ball clay”) was used in the manufacture of animal feed. The contaminated clay was traced to a bentonite mine. As there was no evidence that hazardous waste was buried at the mine, investigators speculate that the source of dioxins may be natural, perhaps due to a prehistoric forest fire.
Large amounts of dioxins were released in a serious accident at a chemical factory in Seveso, Italy, in 1976. A cloud of toxic chemicals, including 2,3,7,8-Tetrachlorodibenzo-p-dioxin, or TCDD, was released into the air and eventually contaminated an area of 15 square kilometres where 37 000 people lived. Extensive studies in the affected population are continuing to determine the long-term human health effects from this incident. These investigations, however, are hampered by the lack of appropriate exposure assessments. A minor increase in certain cancers and effects on reproduction have been detected and are being further investigated. Possible effects on the children of exposed people are currently being studied.
TCDD has also been extensively studied for health effects linked to its presence as a contaminant in some batches of the herbicide Agent Orange, which was used as a defoliant during the Vietnam War. A link to certain types of cancers and also to diabetes is still being investigated.
Earlier incidents of food contamination have been reported in other parts of the world. Although all countries can be affected, most contamination cases have been reported in industrialized countries where adequate food contamination monitoring, greater awareness of the hazard and better regulatory controls are available for the detection of dioxin problems.
A few cases of intentional human poisoning have also been reported. The most notable incident is the 2004 case of Viktor Yushchenko, President of the Ukraine, whose face was disfigured by chloracne.
Effects of dioxins on human health
Short-term exposure of humans to high levels of dioxins may result in skin lesions, such as chloracne and patchy darkening of the skin, and altered liver function. Long-term exposure is linked to impairment of the immune system, the developing nervous system, the endocrine system and reproductive functions. Chronic exposure of animals to dioxins has resulted in several types of cancer. TCDD was evaluated by the WHO’s International Agency for Research on Cancer (IARC) in 1997. Based on animal data and on human epidemiology data, TCDD was classified by IARC as a "known human carcinogen”. However, TCDD does not affect genetic material and there is a level of exposure below which cancer risk would be negligible.
Due to the omnipresence of dioxins, all people have background exposure and a certain level of dioxins in the body, leading to the so-called body burden. Current normal background exposure is not expected to affect human health on average. However, due to the high toxic potential of this class of compounds, efforts need to be undertaken to reduce current background exposure.
Sensitive subgroups
The developing fetus is most sensitive to dioxin exposure. The newborn, with rapidly developing organ systems, may also be more vulnerable to certain effects. Some individuals or groups of individuals may be exposed to higher levels of dioxins because of their diets (e.g., high consumers of fish in certain parts of the world) or their occupations (e.g., workers in the pulp and paper industry, in incineration plants and at hazardous waste sites, to name just a few).
Prevention and control of dioxin exposure
Proper incineration of contaminated material is the best available method of preventing and controlling exposure to dioxins. It can also destroy PCB-based waste oils. The incineration process requires high temperatures, over 850°C. For the destruction of large amounts of contaminated material, even higher temperatures - 1000°C or more - are required.
Prevention or reduction of human exposure is best done via source-directed measures, i.e. strict control of industrial processes to reduce formation of dioxins as much as possible. This is the responsibility of national governments, but in recognition of the importance of this approach, the Codex Alimentarius Commission adopted in 2001 a Code of Practice for Source Directed Measures to Reduce Contamination of Foods with Chemicals (CAC/RCP 49-2001), and in 2006 a Code of Practice for the Prevention and Reduction of Dioxin and Dioxin-like PCB Contamination in Food and Feeds (CAC/RCP 62-2006).
More than 90% of human exposure to dioxins is through the food supply, mainly meat and dairy products, fish and shellfish. Consequently, protecting the food supply is critical. One approach includes, as mentioned above, source-directed measures to reduce dioxin emissions. Secondary contamination of the food supply needs to be avoided throughout the food-chain. Good controls and practices during primary production, processing, distribution and sale are all essential to the production of safe food.
Food contamination monitoring systems must be in place to ensure that tolerance levels are not exceeded. It is the role of national governments to monitor the safety of food supply and to take action to protect public health. When incidents of contamination are suspected, countries should have contingency plans to identify, detain and dispose of contaminated feed and food. The exposed population should be examined in terms of exposure (e.g. measuring the contaminants in blood or human milk) and effects (e.g. clinical surveillance to detect signs of ill health).
What should consumers do to reduce their risk of exposure?
Trimming fat from meat and consuming low fat dairy products may decrease the exposure to dioxin compounds. Also, a balanced diet (including adequate amounts of fruits, vegetables and cereals) will help to avoid excessive exposure from a single source. This is a long-term strategy to reduce body burdens and is probably most relevant for girls and young women to reduce exposure of the developing fetus and when breastfeeding infants later on in life. However, the possibility for consumers to reduce their own exposure is somewhat limited.
What does it take to identify and measure dioxins in the environment and food?
The quantitative chemical analysis of dioxins requires sophisticated methods that are available only in a limited number of laboratories around the world. These are mostly in industrialized countries. The analysis costs are very high and vary according to the type of sample, but range from over US$ 1700 for the analysis of a single biological sample to several thousand US dollars for the comprehensive assessment of release from a waste incinerator.
Increasingly, biological (cell- or antibody) -based screening methods are being developed. The use of such methods for food samples is not yet sufficiently validated. Nevertheless, such screening methods will allow more analyses at lower cost. In case of a positive screening test, confirmation of results must be carried out via more complex chemical analysis.
WHO activities related to dioxins
Reducing dioxin exposure is an important public health goal for disease reduction, also with respect to sustainable development. In order to give guidance on acceptable levels of exposure, WHO has held a series of expert meetings to determine a tolerable intake of dioxins to which a human can be exposed throughout life without harm.
In the latest of such expert meetings held in 2001, the Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) performed an updated comprehensive risk assessment of PCDDs, PCDFs, and “dioxin-like” PCBs. The experts concluded that a tolerable intake could be established for dioxins on the basis of the assumption that there is a threshold for all effects, including cancer. The long half-lives of PCDDs, PCDFs and “dioxin-like” PCBs mean that each daily ingestion has a small or even a negligible effect on overall intake. In order to assess long- or short-term risks to health due to these substances, total or average intake should be assessed over months, and the tolerable intake should be assessed over a period of at least one month. The experts established a provisional tolerable monthly intake (PTMI) of 70 picogram/kg per month. This level is the amount of dioxins that can be ingested over lifetime without detectable health effects.
WHO, in collaboration with the Food and Agriculture Organization (FAO), through the joint FAO/WHO Codex Alimentarius Commission, has established a ‘Code of Practice for the Prevention and Reduction of Dioxin and Dioxin-like PCB Contamination in Foods and Feed’. This document gives guidance to national and regional authorities on preventive measures. The establishment of Codex guideline levels for dioxins in foods is under consideration.
Since 1976 WHO has been responsible for the Global Environment Monitoring System’s Food Contamination Monitoring and Assessment Programme. Commonly known as GEMS/Food, the programme provides information on levels and trends of contaminants in food through its network of participating laboratories in over 70 countries around the world. Dioxins are included in this monitoring programme.
Since 1987, WHO has conducted periodic studies on levels of dioxins in human milk, mainly in European countries. These studies provide an assessment of human exposure to dioxins from all sources. Recent exposure data indicate that measures introduced to control dioxin release in a number of countries have resulted in a substantial reduction in exposure to these compounds over the past two decades.
WHO is now working with the United Nations Environmental Programme (UNEP) on the implementation of the ‘Stockholm Convention’, an international agreement to reduce emissions of certain persistent organic pollutants (POPs), including dioxins. A number of actions are being considered internationally to reduce the production of dioxins during incineration and manufacturing processes. In responding to the needs of the Stockholm Convention on POPs, the WHO GEMS/Food has developed a new protocol for a Global Survey of Human Milk for POPs in order to meet the health, food safety and environmental objectives of WHO, UNEP and their member countries. This protocol will assist national and regional authorities to collect and analyse representative samples in order to assess the current state of background exposure and in the future to assess the effectiveness of measures taken to reduce exposure.
Dioxins occur as a complex mixture in the environment and in food. In order to assess the potential risk of the whole mixture, the concept of toxic equivalence has been applied to this group of contaminants. TCDD, the most toxic member of the family, is used as reference compound, and all other dioxins are assigned a toxic potency relative to TCDD, based on experimental studies. During the last 15 years, WHO, through the International Programme on Chemical Safety (IPCS), has established and regularly re-evaluated toxic equivalency factors (TEFs) for dioxins and related compounds through expert consultations. WHO-TEF values have been established which apply to humans, mammals, birds and fish. The last such consultation was held in 2005 to update human and mammalian TEFs. These international TEFs have been developed for application in risk assessment and management, and have been adopted formally by a number of countries and regional bodies, including Canada, Japan, the United States and the European Union.
sumber : http://www.who.int/
Dioxins and their effects on human health
Sources of dioxin contamination
Background
http://health-solution-center.blogspot.com/
-Dioxins are environmental pollutants. They have the dubious distinction of belonging to the “dirty dozen” - a group of dangerous chemicals known as persistent organic pollutants. Dioxins are of concern because of their highly toxic potential. Experiments have shown they affect a number of organs and systems. Once dioxins have entered the body, they endure a long time because of their chemical stability and their ability to be absorbed by fat tissue, where they are then stored in the body. Their half-life in the body is estimated to be seven to eleven years. In the environment, dioxins tend to accumulate in the food chain. The higher in the animal food chain one goes, the higher is the concentration of dioxins.
The chemical name for dioxin is: 2,3,7,8- tetrachlorodibenzo para dioxin (TCDD). The name ‘dioxins’ is often used for the family of structurally and chemically related polychlorinated dibenzo para dioxins (PCDDs) and polychlorinated dibenzofurans (PCDFs). Certain dioxin-like polychlorinated biphenyls (PCBs) with similar toxic properties are also included under the term “dioxins”. Some 419 types of dioxin-related compounds have been identified but only about 30 of these are considered to have significant toxicity, with TCDD being the most toxic.
http://health-solution-center.blogspot.com/ - Dioxins are mainly by products of industrial processes but can also result from natural processes, such as volcanic eruptions and forest fires. Dioxins are unwanted by products of a wide range of manufacturing processes including smelting, chlorine bleaching of paper pulp and the manufacturing of some herbicides and pesticides. In terms of dioxin release into the environment, waste incinerators (solid waste and hospital waste) are often the worst culprits, due to incomplete burning.
http://health-solution-center.blogspot.com/ - Although formation of dioxins is local, environmental distribution is global. Dioxins are found throughout the world in practically all media. The highest levels of these compounds are found in some soils, sediments and food, especially dairy products, meat, fish and shellfish. Very low levels are found in plants, water and air.
Extensive stores of PCB-based waste industrial oils, many with high levels of PCDFs, exist throughout the world. Long-term storage and improper disposal of this material may result in dioxin release into the environment and the contamination of human and animal food supplies. PCB-based waste is not easily disposed of without contamination of the environment and human populations. Such material needs to be treated as hazardous waste and is best destroyed by high temperature incineration.
Dioxin contamination incidents
Many countries monitor their food supply for dioxins. This has led to early detection of contamination and has often prevented impact on a larger scale. One example is the detection of increased dioxin levels in milk in 2004 in the Netherlands, traced to a clay used in the production of the animal feed. In another incident, elevated dioxin levels were detected in animal feed in the Netherlands in 2006 and the source was identified as contaminated fat used in the production of the feed.
Some dioxin contamination events have been more significant, with broader implications in many countries.
In July 2007, the European Commission issued a health warning to its Member States after high levels of dioxins were detected in a food additive - guar gum - used as thickener in small quantities in meat, dairy, dessert or delicatessen products. The source was traced to guar gum from India that was contaminated with pentachlorophenol (PCP), a pesticide no longer in use. PCP contains dioxins as contamination.
In 1999, high levels of dioxins were found in poultry and eggs from Belgium. Subsequently, dioxin-contaminated animal-based food (poultry, eggs, pork), were detected in several other countries. The cause was traced to animal feed contaminated with illegally disposed PCB-based waste industrial oil.
In March 1998, high levels of dioxins in milk sold in Germany were traced to citrus pulp pellets used as animal feed exported from Brazil. The investigation resulted in a ban on all citrus pulp imports to the EU from Brazil.
Another case of dioxin contamination of food occurred in the United States of America in 1997. Chickens, eggs, and catfish were contaminated with dioxins when a tainted ingredient (bentonite clay, sometimes called “ball clay”) was used in the manufacture of animal feed. The contaminated clay was traced to a bentonite mine. As there was no evidence that hazardous waste was buried at the mine, investigators speculate that the source of dioxins may be natural, perhaps due to a prehistoric forest fire.
Large amounts of dioxins were released in a serious accident at a chemical factory in Seveso, Italy, in 1976. A cloud of toxic chemicals, including 2,3,7,8-Tetrachlorodibenzo-p-dioxin, or TCDD, was released into the air and eventually contaminated an area of 15 square kilometres where 37 000 people lived. Extensive studies in the affected population are continuing to determine the long-term human health effects from this incident. These investigations, however, are hampered by the lack of appropriate exposure assessments. A minor increase in certain cancers and effects on reproduction have been detected and are being further investigated. Possible effects on the children of exposed people are currently being studied.
TCDD has also been extensively studied for health effects linked to its presence as a contaminant in some batches of the herbicide Agent Orange, which was used as a defoliant during the Vietnam War. A link to certain types of cancers and also to diabetes is still being investigated.
Earlier incidents of food contamination have been reported in other parts of the world. Although all countries can be affected, most contamination cases have been reported in industrialized countries where adequate food contamination monitoring, greater awareness of the hazard and better regulatory controls are available for the detection of dioxin problems.
A few cases of intentional human poisoning have also been reported. The most notable incident is the 2004 case of Viktor Yushchenko, President of the Ukraine, whose face was disfigured by chloracne.
Effects of dioxins on human health
Short-term exposure of humans to high levels of dioxins may result in skin lesions, such as chloracne and patchy darkening of the skin, and altered liver function. Long-term exposure is linked to impairment of the immune system, the developing nervous system, the endocrine system and reproductive functions. Chronic exposure of animals to dioxins has resulted in several types of cancer. TCDD was evaluated by the WHO’s International Agency for Research on Cancer (IARC) in 1997. Based on animal data and on human epidemiology data, TCDD was classified by IARC as a "known human carcinogen”. However, TCDD does not affect genetic material and there is a level of exposure below which cancer risk would be negligible.
Due to the omnipresence of dioxins, all people have background exposure and a certain level of dioxins in the body, leading to the so-called body burden. Current normal background exposure is not expected to affect human health on average. However, due to the high toxic potential of this class of compounds, efforts need to be undertaken to reduce current background exposure.
Sensitive subgroups
The developing fetus is most sensitive to dioxin exposure. The newborn, with rapidly developing organ systems, may also be more vulnerable to certain effects. Some individuals or groups of individuals may be exposed to higher levels of dioxins because of their diets (e.g., high consumers of fish in certain parts of the world) or their occupations (e.g., workers in the pulp and paper industry, in incineration plants and at hazardous waste sites, to name just a few).
Prevention and control of dioxin exposure
Proper incineration of contaminated material is the best available method of preventing and controlling exposure to dioxins. It can also destroy PCB-based waste oils. The incineration process requires high temperatures, over 850°C. For the destruction of large amounts of contaminated material, even higher temperatures - 1000°C or more - are required.
Prevention or reduction of human exposure is best done via source-directed measures, i.e. strict control of industrial processes to reduce formation of dioxins as much as possible. This is the responsibility of national governments, but in recognition of the importance of this approach, the Codex Alimentarius Commission adopted in 2001 a Code of Practice for Source Directed Measures to Reduce Contamination of Foods with Chemicals (CAC/RCP 49-2001), and in 2006 a Code of Practice for the Prevention and Reduction of Dioxin and Dioxin-like PCB Contamination in Food and Feeds (CAC/RCP 62-2006).
More than 90% of human exposure to dioxins is through the food supply, mainly meat and dairy products, fish and shellfish. Consequently, protecting the food supply is critical. One approach includes, as mentioned above, source-directed measures to reduce dioxin emissions. Secondary contamination of the food supply needs to be avoided throughout the food-chain. Good controls and practices during primary production, processing, distribution and sale are all essential to the production of safe food.
Food contamination monitoring systems must be in place to ensure that tolerance levels are not exceeded. It is the role of national governments to monitor the safety of food supply and to take action to protect public health. When incidents of contamination are suspected, countries should have contingency plans to identify, detain and dispose of contaminated feed and food. The exposed population should be examined in terms of exposure (e.g. measuring the contaminants in blood or human milk) and effects (e.g. clinical surveillance to detect signs of ill health).
What should consumers do to reduce their risk of exposure?
Trimming fat from meat and consuming low fat dairy products may decrease the exposure to dioxin compounds. Also, a balanced diet (including adequate amounts of fruits, vegetables and cereals) will help to avoid excessive exposure from a single source. This is a long-term strategy to reduce body burdens and is probably most relevant for girls and young women to reduce exposure of the developing fetus and when breastfeeding infants later on in life. However, the possibility for consumers to reduce their own exposure is somewhat limited.
What does it take to identify and measure dioxins in the environment and food?
The quantitative chemical analysis of dioxins requires sophisticated methods that are available only in a limited number of laboratories around the world. These are mostly in industrialized countries. The analysis costs are very high and vary according to the type of sample, but range from over US$ 1700 for the analysis of a single biological sample to several thousand US dollars for the comprehensive assessment of release from a waste incinerator.
Increasingly, biological (cell- or antibody) -based screening methods are being developed. The use of such methods for food samples is not yet sufficiently validated. Nevertheless, such screening methods will allow more analyses at lower cost. In case of a positive screening test, confirmation of results must be carried out via more complex chemical analysis.
WHO activities related to dioxins
Reducing dioxin exposure is an important public health goal for disease reduction, also with respect to sustainable development. In order to give guidance on acceptable levels of exposure, WHO has held a series of expert meetings to determine a tolerable intake of dioxins to which a human can be exposed throughout life without harm.
In the latest of such expert meetings held in 2001, the Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) performed an updated comprehensive risk assessment of PCDDs, PCDFs, and “dioxin-like” PCBs. The experts concluded that a tolerable intake could be established for dioxins on the basis of the assumption that there is a threshold for all effects, including cancer. The long half-lives of PCDDs, PCDFs and “dioxin-like” PCBs mean that each daily ingestion has a small or even a negligible effect on overall intake. In order to assess long- or short-term risks to health due to these substances, total or average intake should be assessed over months, and the tolerable intake should be assessed over a period of at least one month. The experts established a provisional tolerable monthly intake (PTMI) of 70 picogram/kg per month. This level is the amount of dioxins that can be ingested over lifetime without detectable health effects.
WHO, in collaboration with the Food and Agriculture Organization (FAO), through the joint FAO/WHO Codex Alimentarius Commission, has established a ‘Code of Practice for the Prevention and Reduction of Dioxin and Dioxin-like PCB Contamination in Foods and Feed’. This document gives guidance to national and regional authorities on preventive measures. The establishment of Codex guideline levels for dioxins in foods is under consideration.
Since 1976 WHO has been responsible for the Global Environment Monitoring System’s Food Contamination Monitoring and Assessment Programme. Commonly known as GEMS/Food, the programme provides information on levels and trends of contaminants in food through its network of participating laboratories in over 70 countries around the world. Dioxins are included in this monitoring programme.
Since 1987, WHO has conducted periodic studies on levels of dioxins in human milk, mainly in European countries. These studies provide an assessment of human exposure to dioxins from all sources. Recent exposure data indicate that measures introduced to control dioxin release in a number of countries have resulted in a substantial reduction in exposure to these compounds over the past two decades.
WHO is now working with the United Nations Environmental Programme (UNEP) on the implementation of the ‘Stockholm Convention’, an international agreement to reduce emissions of certain persistent organic pollutants (POPs), including dioxins. A number of actions are being considered internationally to reduce the production of dioxins during incineration and manufacturing processes. In responding to the needs of the Stockholm Convention on POPs, the WHO GEMS/Food has developed a new protocol for a Global Survey of Human Milk for POPs in order to meet the health, food safety and environmental objectives of WHO, UNEP and their member countries. This protocol will assist national and regional authorities to collect and analyse representative samples in order to assess the current state of background exposure and in the future to assess the effectiveness of measures taken to reduce exposure.
Dioxins occur as a complex mixture in the environment and in food. In order to assess the potential risk of the whole mixture, the concept of toxic equivalence has been applied to this group of contaminants. TCDD, the most toxic member of the family, is used as reference compound, and all other dioxins are assigned a toxic potency relative to TCDD, based on experimental studies. During the last 15 years, WHO, through the International Programme on Chemical Safety (IPCS), has established and regularly re-evaluated toxic equivalency factors (TEFs) for dioxins and related compounds through expert consultations. WHO-TEF values have been established which apply to humans, mammals, birds and fish. The last such consultation was held in 2005 to update human and mammalian TEFs. These international TEFs have been developed for application in risk assessment and management, and have been adopted formally by a number of countries and regional bodies, including Canada, Japan, the United States and the European Union.
sumber : http://www.who.int/
DUNIA KESEHATAN - air pollution and health
Indoor air pollution and health
Scope of the problem
http://health-solution-center.blogspot.com/- More than half of the world’s population rely on dung, wood, crop waste or coal to meet their most basic energy needs. Cooking and heating with such solid fuels on open fires or stoves without chimneys leads to indoor air pollution. This indoor smoke contains a range of health-damaging pollutants including small soot or dust particles that are able to penetrate deep into the lungs. In poorly ventilated dwellings, indoor smoke can exceed acceptable levels for small particles in outdoor air 100-fold. Exposure is particularly high among women and children, who spend the most time near the domestic hearth. Every year, indoor air pollution is responsible for the death of 1.6 million people - that's one death every 20 seconds.
http://health-solution-center.blogspot.com/- The use of polluting fuels thus poses a major burden on the health of poor families in developing countries. The dependence on such fuels is both a cause and a result of poverty as poor households often do not have the resources to obtain cleaner, more efficient fuels and appliances. Reliance on simple household fuels and appliances can compromise health and thus hold back economic development, creating a vicious cycle of poverty.
http://health-solution-center.blogspot.com/-According to the 2004 assessment of the International Energy Agency, the number of people relying on biomass fuels such as wood, dung and agricultural residues, for cooking and heating will continue to rise. In sub-Saharan Africa, the reliance on biomass fuels appears to be growing as a result of population growth and the unavailability of, or increases in the price of, alternatives such as kerosene and liquid petroleum gas. Despite the magnitude of this growing problem, the health impacts of exposure to indoor air pollution have yet to become a central focus of research, development aid and policy-making.
The health impact: A major killer
http://health-solution-center.blogspot.com/The World Health Organization (WHO) has assessed the contribution of a range of risk factors to the burden of disease and revealed indoor air pollution as the 8th most important risk factor and responsible for 2.7% of the global burden of disease . Globally, indoor air pollution from solid fuel use is responsible for 1.6 million deaths due to pneumonia, chronic respiratory disease and lung cancer, with the overall disease burden (in Disability-Adjusted Life Years or DALYs, a measure combining years of life lost due to disability and death) exceeding the burden from outdoor air pollution five fold. In high-mortality developing countries, indoor smoke is responsible for an estimated 3.7% of the overall disease burden, making it the most lethal killer after malnutrition, unsafe sex and lack of safe water and sanitation.
http://health-solution-center.blogspot.com/Indoor air pollution has been associated with a wide range of health outcomes, and the evidence for these associations has been classified as strong, moderate or tentative in a recent systematic review. Included in the above assessment were only those health outcomes for which the evidence for indoor air pollution as a cause was classified as strong. There is consistent evidence that exposure to indoor air pollution increases the risk of pneumonia among children under five years, and chronic respiratory disease and lung cancer (in relation to coal use) among adults over 30 years old. The evidence for a link with lung cancer from exposure to biomass smoke, and for a link with asthma, cataracts and tuberculosis was considered moderate. On the basis of the limited available studies, there is tentative evidence for an association between indoor air pollution and adverse pregnancy outcomes, in particular low birth weight, or ischaemic heart disease and nasopharyngeal and laryngeal cancers.
http://health-solution-center.blogspot.com/-While the precise mechanism of how exposure causes disease is still unclear, it is known that small particles and several of the other pollutants contained in indoor smoke cause inflammation of the airways and lungs and impair the immune response. Carbon monoxide also results in systemic effects by reducing the oxygen-carrying capacity of the blood.
Pneumonia and other acute lower respiratory infections
http://health-solution-center.blogspot.com/-Globally, pneumonia and other acute lower respiratory infections represent the single most important cause of death in children under five years. Exposure to indoor air pollution more than doubles the risk of pneumonia and is thus responsible for more than 900 000 of the 2 million annual deaths from pneumonia.
Chronic obstructive pulmonary disease
http://health-solution-center.blogspot.com/- Women exposed to indoor smoke are three times as likely to suffer from chronic obstructive pulmonary disease (COPD), such as chronic bronchitis, than women who cook and heat with electricity, gas and other cleaner fuels. Among men, exposure to this neglected risk factor nearly doubles the risk of chronic respiratory disease. Consequently, indoor air pollution is responsible for approximately 700 000 out of the 2.7 million global deaths due to COPD.
Lung cancer
http://health-solution-center.blogspot.com/-Coal use is widespread in China and cooking on open fires or simple stoves can cause lung cancer in women. Exposure to smoke from coal fires doubles the risk of lung cancer, in particular among women who tend to smoke less than men in most developing countries. Every year, more than one million people die from lung cancer globally, and indoor air pollution is responsible for approximately 1.5% of these deaths.
Disproportionate impacts on children and women
http://health-solution-center.blogspot.com/-Household energy practices vary widely around the world, as does the resultant death toll due to indoor air pollution. While more than two-thirds of indoor smoke deaths from acute lower respiratory infections in children occur in WHO's African and South East Asian Regions, over 50% of the COPD deaths due to indoor air pollution occur in the Western Pacific region.
http://health-solution-center.blogspot.com/-In most societies, women are in charge of cooking and - depending on the demands of the local cuisine - they spend between three and seven hours per day near the stove, preparing food. 59% of all indoor air pollution-attributable deaths thus fall on females. Young children are often carried on their mother's back or kept close to the warm hearth. Consequently, infants spend many hours breathing indoor smoke during their first year of life when their developing airways make them particularly vulnerable to hazardous pollutants. As a result, 56% of all indoor air pollution-attributable deaths occur in children under five years of age.
http://health-solution-center.blogspot.com/-In addition to the health burden, fuel collection can impose a serious time burden on women and children. Alleviating this work will free women's time for productive endeavours and child care, and can boost children's school attendance and time for homework.
Millennium Development Goals are guiding international action
http://health-solution-center.blogspot.com/-Tackling indoor air pollution in the context of household energy is linked to achieving the Millennium Development Goals, in particular to reducing child mortality (Goal 4), to promoting gender equality and empowering women (Goal 3), to opening up opportunities for income generation and eradicating extreme poverty (Goal 1), and to ensuring environmental sustainability (Goal 7). WHO reports the "proportion of the population using solid fuels for cooking" as an indicator for assessing progress towards the integration of the principles of sustainable development into country policies and programmes. Yet, the central role of household energy is not currently reflected in the political responses to achieve the Millennium Development Goals.
http://health-solution-center.blogspot.com/-Measures to reduce indoor air pollution and associated health effects range from switching to cleaner alternatives, such as gas, electricity or solar energy, to improved stoves or hoods that vent health-damaging pollutants to the outside, to behavioural changes. There is an urgent need to investigate which interventions work and how they can be implemented in a successful, sustainable and financially viable way.
What WHO is doing
http://health-solution-center.blogspot.com/-WHO, as the global public health agency, is advocating for the integration of health in international and national energy policies and programmes. WHO collects and evaluates the evidence for the impact of household energy on health and for the effectiveness of interventions in reducing the health burden on children, women and other vulnerable groups. WHO's programme on household energy and health rests on four pillars:
* Documenting the health burden of indoor air pollution and household energy: WHO will provide a regular update of the links between household energy and health and, where feasible, offer support to key research undertakings.
* Evaluating the effectiveness of technical solutions and their implementation: Developing simple tools for monitoring the effectiveness of interventions in improving health and building the capacity to conduct such evaluations will help generate much needed information from ongoing small- and large-scale projects. This information will provide the basis for the development of a catalogue of options that review both the effectiveness of interventions, and lessons learnt in relation to their implementation.
* Acting as the global advocate for health as a central component of international and national energy policies: Ultimately, policy-makers will want to know whether it pays off to invest in large-scale operations to reduce indoor air pollution. In terms of health, a recent cost-effectiveness analysis of different interventions suggests that improved stoves and switching to kerosene and gas represent cost-effective solutions. In addition, WHO is working on a cost-benefit analysis of interventions that - beyond health - will take into account all the benefits associated with improved household energy practices.
* Monitoring changes in household energy habits over time: Information about the energy habits of poor, mostly rural households is scarce and WHO has the responsibility to work towards progress in this area and to report, on a yearly basis, the Millennium Development Goal Indicator 29 "percentage of population using solid fuels".
Key partners include the Partnership for Clean Indoor Air, the United Nations Environment Programme, the United Nations Development Programme and the World Bank as well as many research institutions and non-governmental agencies around the world. WHO is already actively taking part in projects in several developing countries, including the most sophisticated scientific indoor air pollution study to date undertaken in Guatemala, and work in China, Lao People's Democratic Republic, Mongolia, Nepal, Kenya and Sudan. In the future, work will focus even more on those countries and populations most in need.
sumber air pollution and health: http://www.who.int/
Scope of the problem
http://health-solution-center.blogspot.com/- More than half of the world’s population rely on dung, wood, crop waste or coal to meet their most basic energy needs. Cooking and heating with such solid fuels on open fires or stoves without chimneys leads to indoor air pollution. This indoor smoke contains a range of health-damaging pollutants including small soot or dust particles that are able to penetrate deep into the lungs. In poorly ventilated dwellings, indoor smoke can exceed acceptable levels for small particles in outdoor air 100-fold. Exposure is particularly high among women and children, who spend the most time near the domestic hearth. Every year, indoor air pollution is responsible for the death of 1.6 million people - that's one death every 20 seconds.
http://health-solution-center.blogspot.com/- The use of polluting fuels thus poses a major burden on the health of poor families in developing countries. The dependence on such fuels is both a cause and a result of poverty as poor households often do not have the resources to obtain cleaner, more efficient fuels and appliances. Reliance on simple household fuels and appliances can compromise health and thus hold back economic development, creating a vicious cycle of poverty.
http://health-solution-center.blogspot.com/-According to the 2004 assessment of the International Energy Agency, the number of people relying on biomass fuels such as wood, dung and agricultural residues, for cooking and heating will continue to rise. In sub-Saharan Africa, the reliance on biomass fuels appears to be growing as a result of population growth and the unavailability of, or increases in the price of, alternatives such as kerosene and liquid petroleum gas. Despite the magnitude of this growing problem, the health impacts of exposure to indoor air pollution have yet to become a central focus of research, development aid and policy-making.
The health impact: A major killer
http://health-solution-center.blogspot.com/The World Health Organization (WHO) has assessed the contribution of a range of risk factors to the burden of disease and revealed indoor air pollution as the 8th most important risk factor and responsible for 2.7% of the global burden of disease . Globally, indoor air pollution from solid fuel use is responsible for 1.6 million deaths due to pneumonia, chronic respiratory disease and lung cancer, with the overall disease burden (in Disability-Adjusted Life Years or DALYs, a measure combining years of life lost due to disability and death) exceeding the burden from outdoor air pollution five fold. In high-mortality developing countries, indoor smoke is responsible for an estimated 3.7% of the overall disease burden, making it the most lethal killer after malnutrition, unsafe sex and lack of safe water and sanitation.
http://health-solution-center.blogspot.com/Indoor air pollution has been associated with a wide range of health outcomes, and the evidence for these associations has been classified as strong, moderate or tentative in a recent systematic review. Included in the above assessment were only those health outcomes for which the evidence for indoor air pollution as a cause was classified as strong. There is consistent evidence that exposure to indoor air pollution increases the risk of pneumonia among children under five years, and chronic respiratory disease and lung cancer (in relation to coal use) among adults over 30 years old. The evidence for a link with lung cancer from exposure to biomass smoke, and for a link with asthma, cataracts and tuberculosis was considered moderate. On the basis of the limited available studies, there is tentative evidence for an association between indoor air pollution and adverse pregnancy outcomes, in particular low birth weight, or ischaemic heart disease and nasopharyngeal and laryngeal cancers.
http://health-solution-center.blogspot.com/-While the precise mechanism of how exposure causes disease is still unclear, it is known that small particles and several of the other pollutants contained in indoor smoke cause inflammation of the airways and lungs and impair the immune response. Carbon monoxide also results in systemic effects by reducing the oxygen-carrying capacity of the blood.
Pneumonia and other acute lower respiratory infections
http://health-solution-center.blogspot.com/-Globally, pneumonia and other acute lower respiratory infections represent the single most important cause of death in children under five years. Exposure to indoor air pollution more than doubles the risk of pneumonia and is thus responsible for more than 900 000 of the 2 million annual deaths from pneumonia.
Chronic obstructive pulmonary disease
http://health-solution-center.blogspot.com/- Women exposed to indoor smoke are three times as likely to suffer from chronic obstructive pulmonary disease (COPD), such as chronic bronchitis, than women who cook and heat with electricity, gas and other cleaner fuels. Among men, exposure to this neglected risk factor nearly doubles the risk of chronic respiratory disease. Consequently, indoor air pollution is responsible for approximately 700 000 out of the 2.7 million global deaths due to COPD.
Lung cancer
http://health-solution-center.blogspot.com/-Coal use is widespread in China and cooking on open fires or simple stoves can cause lung cancer in women. Exposure to smoke from coal fires doubles the risk of lung cancer, in particular among women who tend to smoke less than men in most developing countries. Every year, more than one million people die from lung cancer globally, and indoor air pollution is responsible for approximately 1.5% of these deaths.
Disproportionate impacts on children and women
http://health-solution-center.blogspot.com/-Household energy practices vary widely around the world, as does the resultant death toll due to indoor air pollution. While more than two-thirds of indoor smoke deaths from acute lower respiratory infections in children occur in WHO's African and South East Asian Regions, over 50% of the COPD deaths due to indoor air pollution occur in the Western Pacific region.
http://health-solution-center.blogspot.com/-In most societies, women are in charge of cooking and - depending on the demands of the local cuisine - they spend between three and seven hours per day near the stove, preparing food. 59% of all indoor air pollution-attributable deaths thus fall on females. Young children are often carried on their mother's back or kept close to the warm hearth. Consequently, infants spend many hours breathing indoor smoke during their first year of life when their developing airways make them particularly vulnerable to hazardous pollutants. As a result, 56% of all indoor air pollution-attributable deaths occur in children under five years of age.
http://health-solution-center.blogspot.com/-In addition to the health burden, fuel collection can impose a serious time burden on women and children. Alleviating this work will free women's time for productive endeavours and child care, and can boost children's school attendance and time for homework.
Millennium Development Goals are guiding international action
http://health-solution-center.blogspot.com/-Tackling indoor air pollution in the context of household energy is linked to achieving the Millennium Development Goals, in particular to reducing child mortality (Goal 4), to promoting gender equality and empowering women (Goal 3), to opening up opportunities for income generation and eradicating extreme poverty (Goal 1), and to ensuring environmental sustainability (Goal 7). WHO reports the "proportion of the population using solid fuels for cooking" as an indicator for assessing progress towards the integration of the principles of sustainable development into country policies and programmes. Yet, the central role of household energy is not currently reflected in the political responses to achieve the Millennium Development Goals.
http://health-solution-center.blogspot.com/-Measures to reduce indoor air pollution and associated health effects range from switching to cleaner alternatives, such as gas, electricity or solar energy, to improved stoves or hoods that vent health-damaging pollutants to the outside, to behavioural changes. There is an urgent need to investigate which interventions work and how they can be implemented in a successful, sustainable and financially viable way.
What WHO is doing
http://health-solution-center.blogspot.com/-WHO, as the global public health agency, is advocating for the integration of health in international and national energy policies and programmes. WHO collects and evaluates the evidence for the impact of household energy on health and for the effectiveness of interventions in reducing the health burden on children, women and other vulnerable groups. WHO's programme on household energy and health rests on four pillars:
* Documenting the health burden of indoor air pollution and household energy: WHO will provide a regular update of the links between household energy and health and, where feasible, offer support to key research undertakings.
* Evaluating the effectiveness of technical solutions and their implementation: Developing simple tools for monitoring the effectiveness of interventions in improving health and building the capacity to conduct such evaluations will help generate much needed information from ongoing small- and large-scale projects. This information will provide the basis for the development of a catalogue of options that review both the effectiveness of interventions, and lessons learnt in relation to their implementation.
* Acting as the global advocate for health as a central component of international and national energy policies: Ultimately, policy-makers will want to know whether it pays off to invest in large-scale operations to reduce indoor air pollution. In terms of health, a recent cost-effectiveness analysis of different interventions suggests that improved stoves and switching to kerosene and gas represent cost-effective solutions. In addition, WHO is working on a cost-benefit analysis of interventions that - beyond health - will take into account all the benefits associated with improved household energy practices.
* Monitoring changes in household energy habits over time: Information about the energy habits of poor, mostly rural households is scarce and WHO has the responsibility to work towards progress in this area and to report, on a yearly basis, the Millennium Development Goal Indicator 29 "percentage of population using solid fuels".
Key partners include the Partnership for Clean Indoor Air, the United Nations Environment Programme, the United Nations Development Programme and the World Bank as well as many research institutions and non-governmental agencies around the world. WHO is already actively taking part in projects in several developing countries, including the most sophisticated scientific indoor air pollution study to date undertaken in Guatemala, and work in China, Lao People's Democratic Republic, Mongolia, Nepal, Kenya and Sudan. In the future, work will focus even more on those countries and populations most in need.
sumber air pollution and health: http://www.who.int/
DUNIA KESEHATANA - Acrylamide
http://health-solution-center.blogspot.com/ - Acrylamide (C3H3ONH2) is a chemical that is produced naturally in certain foods when they are cooked at high temperatures. It is also manufactured industrially for use in the production of polyacrylamide gels, which are used for various purposes, including the treatment of drinking-water and wastewater. Acrylamide is known to cause cancer in animals and, in high doses, can cause nerve damage in humans.
Acrylamide
Sumber: http://www.who.int/
Acrylamide
Sumber: http://www.who.int/
DUNIA KESEHATAN - Accidents, Radiation
Accidents, Radiation
A radiation accident involves a non-routine overexposure to ionizing radiation, as a result either of dispersal of radioactive material or of being too close to a radioactive source. This could occur, for example, following a major accident at a nuclear facility, in industrial or medical settings because of lack of appropriate occupational or patient safety, following loss or theft of radioactive material, or as a result of a deliberate malicious act. Exposure to ionizing radiation can pose a substantial health risk, with the type and level of risk depending on the duration and amount of exposure....
Accidents, Radiation
submer : http://www.who.int/
A radiation accident involves a non-routine overexposure to ionizing radiation, as a result either of dispersal of radioactive material or of being too close to a radioactive source. This could occur, for example, following a major accident at a nuclear facility, in industrial or medical settings because of lack of appropriate occupational or patient safety, following loss or theft of radioactive material, or as a result of a deliberate malicious act. Exposure to ionizing radiation can pose a substantial health risk, with the type and level of risk depending on the duration and amount of exposure....
Accidents, Radiation
submer : http://www.who.int/
Tuesday, April 22, 2008
Dunia Kesehatan : Kanker payudara
Deteksi Dini Kanker Payudara
Deteksi Dini Kanker Payudara
Deteksi Dini Kanker Payudara
Terapi NurSyifa' berdasar petunjuk Teknologi Al Qur'an mampu mengatasi sel2 kanker dengan cara :
1. Terapi NurSyifa' pertama-tama mengisolasi penyebaran sel2 kanker, mengumpulkannya terpisah dari jaringan yang sehat, agar nantinya dapat dihancurkan tanpa mengganggu sel2 dan jaringan tubuh yang sehat.
2. Setelah terkumpul, kemudian dengan ilmu Adz- Dzariyat (Sentuhan Tangan Cahaya), sel2 kanker yang telah terkumpul itu ditembak dengan partikel2 energi kuantum NurSyifa' (Gelombang Energi yang sangat Kuat) hingga hancur. (Ingat mereka rakus energi hingga meledak karenanya)
Karena tidak disuntikkan kedalam tubuh (tidak berupa cairan) akan tetapi dipancarkan ditembakkan langsung, sehingga radiasinya terkendali hanya tertuju langsung ke sel2 kanker saja tidak mengganggu sel2 yang sehat.
Pasien dapat merasakan bahwa dibagian tubuhnya yang sakit (terkena kanker) terasa panas dan terasa menetes-netes. Ini membuktikan bahwa jaringan yang rusak (sel kanker) berhasil dihancurkan.
3. Setelah beberapa kali terapi penembakan partikel energi kuantum NurSyifa', benjolan mengecil, dan akhirnya lenyap. Pasien diharuskan minum air putih sebanyak-banyaknya agar sel2 kanker yang telah dihancurkan tidak meracuni darah, dan secara terpadu dibuang melalui saluran pembuangan seperti air seni (saluran kencing), air besar, dll.
4. Dibantu dengan ramuan Herbal-Jamu dari bahan2 alami berkhasiat yang banyak terdapat di Indonesia dan suplemen madu, untuk menanggulangi luka dalam tubuh, membantu regenerasi sel2 baru yang sehat dan berbagai hal baik lainnya sebagaimana proses dibawah ini.
RAMUAN HERBAL MEMBANTU PROSES KESEMBUHAN DENGAN CARA :
*
Memperkuat jaringan yang terserang serta memperbaiki kerusakannya.
*
Menghentikan pendarahan (anti hemostatik).
*
Menghilangkan / menetralkan racun (anti toxic).
*
Mengilangkan radang / bengkak (anti radang / anti inflasi).
*
Menghilangkan rasa sakit (analgesik / anti piretik).
*
Menghilangkan demam / menurunkan temperatur tubuh (anti piretik).
*
Membersihkan darah dengan meningkatkan sifat phagocyte dan macrophase dari sel darah putih.
*
Meningkatkan daya tahan tubuh (immunotherapy).
*
Menghentikan pertumbuhan sel kanker (anti neoplastik/sitostatika).
*
Menghambat sintesa DNA sel kanker.
- Menghentikan mitosis sel kanker pada metaphase.
- Menghambat tumorigenesis kanker kolon.
- Merangsang pembentukan sel darah merah pada sumsum tulang.
*
- Meningkatkan fungsi cortex adrenal.
- Meningkatkan imunitas seluler dan fungsi hormonal.
- Meningkatkan phogocyte dan makrofag
*
Dan lain-lain.
5. Dengan setiap hari datang diterapi, sel2 jaringan tubuh secara terus menerus dipicu, dirangsang, diberi energi agar mampu menyerang dan menghancurkan penyakit, dan membentuk pertahanan daya kekebalan tubuh (Anti-body) optimal, pada fase ini tubuh pasien telah ikut aktif berperan serta menyembuhkan dirinya sendiri.
6. Kemudian pasien memasuki fase pemulihan, revitalisasi. Pasien mundur terapinya menjadi 2-3 hari sekali, seminggu sekali, dan seterusnya untuk kontrol, check-up, revitalisasi sampai benar2 sembuh total.
7. Akhirnya pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan secara medis kembali (Minimal USG) untuk memastikan bahwa telah benar2 sembuh dari penyakitnya dan kembali sehat.
Deteksi Dini Kanker Payudara
Deteksi Dini Kanker Payudara
Terapi NurSyifa' berdasar petunjuk Teknologi Al Qur'an mampu mengatasi sel2 kanker dengan cara :
1. Terapi NurSyifa' pertama-tama mengisolasi penyebaran sel2 kanker, mengumpulkannya terpisah dari jaringan yang sehat, agar nantinya dapat dihancurkan tanpa mengganggu sel2 dan jaringan tubuh yang sehat.
2. Setelah terkumpul, kemudian dengan ilmu Adz- Dzariyat (Sentuhan Tangan Cahaya), sel2 kanker yang telah terkumpul itu ditembak dengan partikel2 energi kuantum NurSyifa' (Gelombang Energi yang sangat Kuat) hingga hancur. (Ingat mereka rakus energi hingga meledak karenanya)
Karena tidak disuntikkan kedalam tubuh (tidak berupa cairan) akan tetapi dipancarkan ditembakkan langsung, sehingga radiasinya terkendali hanya tertuju langsung ke sel2 kanker saja tidak mengganggu sel2 yang sehat.
Pasien dapat merasakan bahwa dibagian tubuhnya yang sakit (terkena kanker) terasa panas dan terasa menetes-netes. Ini membuktikan bahwa jaringan yang rusak (sel kanker) berhasil dihancurkan.
3. Setelah beberapa kali terapi penembakan partikel energi kuantum NurSyifa', benjolan mengecil, dan akhirnya lenyap. Pasien diharuskan minum air putih sebanyak-banyaknya agar sel2 kanker yang telah dihancurkan tidak meracuni darah, dan secara terpadu dibuang melalui saluran pembuangan seperti air seni (saluran kencing), air besar, dll.
4. Dibantu dengan ramuan Herbal-Jamu dari bahan2 alami berkhasiat yang banyak terdapat di Indonesia dan suplemen madu, untuk menanggulangi luka dalam tubuh, membantu regenerasi sel2 baru yang sehat dan berbagai hal baik lainnya sebagaimana proses dibawah ini.
RAMUAN HERBAL MEMBANTU PROSES KESEMBUHAN DENGAN CARA :
*
Memperkuat jaringan yang terserang serta memperbaiki kerusakannya.
*
Menghentikan pendarahan (anti hemostatik).
*
Menghilangkan / menetralkan racun (anti toxic).
*
Mengilangkan radang / bengkak (anti radang / anti inflasi).
*
Menghilangkan rasa sakit (analgesik / anti piretik).
*
Menghilangkan demam / menurunkan temperatur tubuh (anti piretik).
*
Membersihkan darah dengan meningkatkan sifat phagocyte dan macrophase dari sel darah putih.
*
Meningkatkan daya tahan tubuh (immunotherapy).
*
Menghentikan pertumbuhan sel kanker (anti neoplastik/sitostatika).
*
Menghambat sintesa DNA sel kanker.
- Menghentikan mitosis sel kanker pada metaphase.
- Menghambat tumorigenesis kanker kolon.
- Merangsang pembentukan sel darah merah pada sumsum tulang.
*
- Meningkatkan fungsi cortex adrenal.
- Meningkatkan imunitas seluler dan fungsi hormonal.
- Meningkatkan phogocyte dan makrofag
*
Dan lain-lain.
5. Dengan setiap hari datang diterapi, sel2 jaringan tubuh secara terus menerus dipicu, dirangsang, diberi energi agar mampu menyerang dan menghancurkan penyakit, dan membentuk pertahanan daya kekebalan tubuh (Anti-body) optimal, pada fase ini tubuh pasien telah ikut aktif berperan serta menyembuhkan dirinya sendiri.
6. Kemudian pasien memasuki fase pemulihan, revitalisasi. Pasien mundur terapinya menjadi 2-3 hari sekali, seminggu sekali, dan seterusnya untuk kontrol, check-up, revitalisasi sampai benar2 sembuh total.
7. Akhirnya pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan secara medis kembali (Minimal USG) untuk memastikan bahwa telah benar2 sembuh dari penyakitnya dan kembali sehat.
Saturday, April 12, 2008
Dunia Kesehatan : Sulitnya Mencapai Orgasme
Duh Sulitnya Mencapai Orgasme
Solusi sederhana yang langsung bisa dicoba untuk Sulitnya Mencapai Orgasme
Masalah fisik di sini yang paling banyak terjadi yaitu kurang cukupnya rangsangan pada klitoris. Kebanyakan wanita membutuhkan sentuhan langsung pada bagian ini untuk mencapai orgasmenya, yang mana sering tidak bisa dipenuhi saat hubungan seks itu sendiri.
Faktor kedua yang paling umum terjadi adalah kelelahan dan sedang sakit. Tubuh kita bukanlah mesin. Anda tidak akan mendapatkan orgasme hanya dengan menekan tombol yang tepat. Jika fisik anda sedang drop, prioritas badan Anda adalah tidur dan pemulihan, bukan kepuasan seksual.
Masalah medis Sulitnya Mencapai Orgasme
Ada beberapa penyakit yang membuat orgasme sulit dicapai. Kebanyakan dari itu berupa gangguan pembuluh darah, sistem syaraf dan kekurangan hormon.
Beberapa pengobatan khusus juga bisa menimbulkan efek samping yang dapat menimbulkan masalah ini. Seringkali, operasi panggul bisa menyebabkan kerusakan syaraf dan kehilangan kepekaan terhadap rangsangan.
Jika Anda merasa masalah-masalah ini terjadi pada Anda, coba konsultasikan dengan dokter Anda. Tapi jika punya kondisi fisik yang bagus dan sudah tidur dengan cukup, mungkin kesulitan mendapatkan orgasme lebih disebabkan karena masalah psikis.
Masalah psikis Sulitnya Mencapai Orgasme
Teman Anda mungkin menganjurkan mencoba untuk santai, tetapi kalau hanya begitu sederhana pasti Anda sudah bisa melakukannya sekarang. Masalahnya di sini, problem psikis bukanlah hal yang bisa dijelaskan secara rasional.
Beberapa macam masalah yang biasa terjadi pada wanita. Coba lihat mungkin ada yang sesuai dengan yang Anda alami:
- Terlalu perfeksionis
Semua ingin serba sempurna. Mulai dari cara berhubungan seks, suasana sampai pada mood pun harus benar-benar dalam keadaan yang sempurna.
- Takut lepas kendali
Sifat ini mempengaruhi banyak aspek dalam hidup Anda, bukan hanya pada seks.
- Kepercayaan diri yang rendah
Lebih khawatir dengan bentuk badan Anda daripada menikmati rangsangan seksual pasangan Anda adalah pembunuh utama nafsu Anda.
- Malu atau perasaan bersalah terhadap seks
Hal ini mungkin disebabkan masa kecil yang kurang baik atau karena adanya suatu trauma seksual.
- Kecemasan
Apakah anak-anak sudah tidur? Jangan-jangan telpon akan berbunyi? Apakah bisa terdengar sampai tetangga? Kucingnya sudah dikeluarkan atau belum? Sudah kirim laporan atau belum ya?
Jika semua kecemasan itu ada dalam pikiran Anda, itu berarti pikiran Anda sama sekali tidak berada dalam hubungan seks yang Anda lakukan.
- Menjadi seorang penonton
Anda mungkin bisa mengatakan menunggu ketika sedang memasak air malahan terasa tidak kunjung mendidih. Hal ini juga berlaku dalam orgasme. Jika Anda terus menunggu-nunggu momen itu, Anda malah tidak akan dapat menikmatinya.
- Hubungan yang bermasalah
Anda tentu tidak dapat mengharapkan bisa mendapatkan seks yang menyenangkan dengan seorang musuh. Jika ada ketegangan dalam hubungan Anda, selesaikan dulu sebelum Anda masuk ke dalam kamar tidur.
- Jika Anda merasa tidak mendapatkan stimulasi yang diharapkan, Anda mungkin perlu menunjukkannya bagian mana yang dapat membuat Anda merasa nyaman.
- Pertama, coba eksplorasi tubuh Anda sendiri. Jelajahi setiap bagian dari badan, coba ingat-ingat dan kalau perlu Anda catat bagian mana yang menimbulkan sensasi rasa nikmat pada Anda.
- Kemudian saat Anda melakukan hubungan seks, coba letakkan tangan Anda di atas tangan pasangan Anda dan secara perlahan coba arahkan ke bagian yang dapat menimbulkan rasa rangsangan pada Anda. Jika masih ada rasa canggung untuk melakukan itu, minta pada pasangan Anda untuk menunjukkan bagian mana dari mereka yang paling peka terhadap rangsangan, kemudian tunggu giliran Anda!
Pemicu Orgasme
Ada beberapa cara yang mana dapat membantu Anda dapat mencapai pengalaman seksual yang memuaskan:
- Tarik nafas dalam-dalam atau bernafaslah pendek-pendek secara cepat. Hal ini agar oksigen mengalir merata di otot-otot yang masih tegang.
- Lengkungkan punggung Anda atau coba posisi yang berbeda untuk memaksimalkan rangsangan pada klitoris.
- Pijat secara teratur otot dasar panggul Anda.
- Ambangkan pikiran Anda pada fantasi favori Anda untuk menghilangkan semua pikiran negatif dan gangguan-gangguan yang ada.
Masalah fisik
Masalah fisik di sini yang paling banyak terjadi yaitu kurang cukupnya rangsangan pada klitoris. Kebanyakan wanita membutuhkan sentuhan langsung pada bagian ini untuk mencapai orgasmenya, yang mana sering tidak bisa dipenuhi saat hubungan seks itu sendiri.
Faktor kedua yang paling umum terjadi adalah kelelahan dan sedang sakit. Tubuh kita bukanlah mesin. Anda tidak akan mendapatkan orgasme hanya dengan menekan tombol yang tepat. Jika fisik anda sedang drop, prioritas badan Anda adalah tidur dan pemulihan, bukan kepuasan seksual.
Masalah medis Sulitnya Mencapai Orgasme
Ada beberapa penyakit yang membuat orgasme sulit dicapai. Kebanyakan dari itu berupa gangguan pembuluh darah, sistem syaraf dan kekurangan hormon.
Beberapa pengobatan khusus juga bisa menimbulkan efek samping yang dapat menimbulkan masalah ini. Seringkali, operasi panggul bisa menyebabkan kerusakan syaraf dan kehilangan kepekaan terhadap rangsangan.
Jika Anda merasa masalah-masalah ini terjadi pada Anda, coba konsultasikan dengan dokter Anda. Tapi jika punya kondisi fisik yang bagus dan sudah tidur dengan cukup, mungkin kesulitan mendapatkan orgasme lebih disebabkan karena masalah psikis.
Masalah psikis
Teman Anda mungkin menganjurkan mencoba untuk santai, tetapi kalau hanya begitu sederhana pasti Anda sudah bisa melakukannya sekarang. Masalahnya di sini, problem psikis bukanlah hal yang bisa dijelaskan secara rasional.
Beberapa macam masalah yang biasa terjadi pada wanita. Coba lihat mungkin ada yang sesuai dengan yang Anda alami:
- Terlalu perfeksionis
Semua ingin serba sempurna. Mulai dari cara berhubungan seks, suasana sampai pada mood pun harus benar-benar dalam keadaan yang sempurna.
- Takut lepas kendali
Sifat ini mempengaruhi banyak aspek dalam hidup Anda, bukan hanya pada seks.
- Kepercayaan diri yang rendah
Lebih khawatir dengan bentuk badan Anda daripada menikmati rangsangan seksual pasangan Anda adalah pembunuh utama nafsu Anda.
- Malu atau perasaan bersalah terhadap seks
Hal ini mungkin disebabkan masa kecil yang kurang baik atau karena adanya suatu trauma seksual.
- Kecemasan
Apakah anak-anak sudah tidur? Jangan-jangan telpon akan berbunyi? Apakah bisa terdengar sampai tetangga? Kucingnya sudah dikeluarkan atau belum? Sudah kirim laporan atau belum ya?
Jika semua kecemasan itu ada dalam pikiran Anda, itu berarti pikiran Anda sama sekali tidak berada dalam hubungan seks yang Anda lakukan.
- Menjadi seorang penonton
Anda mungkin bisa mengatakan menunggu ketika sedang memasak air malahan terasa tidak kunjung mendidih. Hal ini juga berlaku dalam orgasme. Jika Anda terus menunggu-nunggu momen itu, Anda malah tidak akan dapat menikmatinya.
- Hubungan yang bermasalah
Anda tentu tidak dapat mengharapkan bisa mendapatkan seks yang menyenangkan dengan seorang musuh. Jika ada ketegangan dalam hubungan Anda, selesaikan dulu sebelum Anda masuk ke dalam kamar tidur.
Solusi sederhana yang langsung bisa dicoba untuk Sulitnya Mencapai Orgasme
Masalah fisik di sini yang paling banyak terjadi yaitu kurang cukupnya rangsangan pada klitoris. Kebanyakan wanita membutuhkan sentuhan langsung pada bagian ini untuk mencapai orgasmenya, yang mana sering tidak bisa dipenuhi saat hubungan seks itu sendiri.
Faktor kedua yang paling umum terjadi adalah kelelahan dan sedang sakit. Tubuh kita bukanlah mesin. Anda tidak akan mendapatkan orgasme hanya dengan menekan tombol yang tepat. Jika fisik anda sedang drop, prioritas badan Anda adalah tidur dan pemulihan, bukan kepuasan seksual.
Masalah medis Sulitnya Mencapai Orgasme
Ada beberapa penyakit yang membuat orgasme sulit dicapai. Kebanyakan dari itu berupa gangguan pembuluh darah, sistem syaraf dan kekurangan hormon.
Beberapa pengobatan khusus juga bisa menimbulkan efek samping yang dapat menimbulkan masalah ini. Seringkali, operasi panggul bisa menyebabkan kerusakan syaraf dan kehilangan kepekaan terhadap rangsangan.
Jika Anda merasa masalah-masalah ini terjadi pada Anda, coba konsultasikan dengan dokter Anda. Tapi jika punya kondisi fisik yang bagus dan sudah tidur dengan cukup, mungkin kesulitan mendapatkan orgasme lebih disebabkan karena masalah psikis.
Masalah psikis Sulitnya Mencapai Orgasme
Teman Anda mungkin menganjurkan mencoba untuk santai, tetapi kalau hanya begitu sederhana pasti Anda sudah bisa melakukannya sekarang. Masalahnya di sini, problem psikis bukanlah hal yang bisa dijelaskan secara rasional.
Beberapa macam masalah yang biasa terjadi pada wanita. Coba lihat mungkin ada yang sesuai dengan yang Anda alami:
- Terlalu perfeksionis
Semua ingin serba sempurna. Mulai dari cara berhubungan seks, suasana sampai pada mood pun harus benar-benar dalam keadaan yang sempurna.
- Takut lepas kendali
Sifat ini mempengaruhi banyak aspek dalam hidup Anda, bukan hanya pada seks.
- Kepercayaan diri yang rendah
Lebih khawatir dengan bentuk badan Anda daripada menikmati rangsangan seksual pasangan Anda adalah pembunuh utama nafsu Anda.
- Malu atau perasaan bersalah terhadap seks
Hal ini mungkin disebabkan masa kecil yang kurang baik atau karena adanya suatu trauma seksual.
- Kecemasan
Apakah anak-anak sudah tidur? Jangan-jangan telpon akan berbunyi? Apakah bisa terdengar sampai tetangga? Kucingnya sudah dikeluarkan atau belum? Sudah kirim laporan atau belum ya?
Jika semua kecemasan itu ada dalam pikiran Anda, itu berarti pikiran Anda sama sekali tidak berada dalam hubungan seks yang Anda lakukan.
- Menjadi seorang penonton
Anda mungkin bisa mengatakan menunggu ketika sedang memasak air malahan terasa tidak kunjung mendidih. Hal ini juga berlaku dalam orgasme. Jika Anda terus menunggu-nunggu momen itu, Anda malah tidak akan dapat menikmatinya.
- Hubungan yang bermasalah
Anda tentu tidak dapat mengharapkan bisa mendapatkan seks yang menyenangkan dengan seorang musuh. Jika ada ketegangan dalam hubungan Anda, selesaikan dulu sebelum Anda masuk ke dalam kamar tidur.
- Jika Anda merasa tidak mendapatkan stimulasi yang diharapkan, Anda mungkin perlu menunjukkannya bagian mana yang dapat membuat Anda merasa nyaman.
- Pertama, coba eksplorasi tubuh Anda sendiri. Jelajahi setiap bagian dari badan, coba ingat-ingat dan kalau perlu Anda catat bagian mana yang menimbulkan sensasi rasa nikmat pada Anda.
- Kemudian saat Anda melakukan hubungan seks, coba letakkan tangan Anda di atas tangan pasangan Anda dan secara perlahan coba arahkan ke bagian yang dapat menimbulkan rasa rangsangan pada Anda. Jika masih ada rasa canggung untuk melakukan itu, minta pada pasangan Anda untuk menunjukkan bagian mana dari mereka yang paling peka terhadap rangsangan, kemudian tunggu giliran Anda!
Pemicu Orgasme
Ada beberapa cara yang mana dapat membantu Anda dapat mencapai pengalaman seksual yang memuaskan:
- Tarik nafas dalam-dalam atau bernafaslah pendek-pendek secara cepat. Hal ini agar oksigen mengalir merata di otot-otot yang masih tegang.
- Lengkungkan punggung Anda atau coba posisi yang berbeda untuk memaksimalkan rangsangan pada klitoris.
- Pijat secara teratur otot dasar panggul Anda.
- Ambangkan pikiran Anda pada fantasi favori Anda untuk menghilangkan semua pikiran negatif dan gangguan-gangguan yang ada.
Masalah fisik
Masalah fisik di sini yang paling banyak terjadi yaitu kurang cukupnya rangsangan pada klitoris. Kebanyakan wanita membutuhkan sentuhan langsung pada bagian ini untuk mencapai orgasmenya, yang mana sering tidak bisa dipenuhi saat hubungan seks itu sendiri.
Faktor kedua yang paling umum terjadi adalah kelelahan dan sedang sakit. Tubuh kita bukanlah mesin. Anda tidak akan mendapatkan orgasme hanya dengan menekan tombol yang tepat. Jika fisik anda sedang drop, prioritas badan Anda adalah tidur dan pemulihan, bukan kepuasan seksual.
Masalah medis Sulitnya Mencapai Orgasme
Ada beberapa penyakit yang membuat orgasme sulit dicapai. Kebanyakan dari itu berupa gangguan pembuluh darah, sistem syaraf dan kekurangan hormon.
Beberapa pengobatan khusus juga bisa menimbulkan efek samping yang dapat menimbulkan masalah ini. Seringkali, operasi panggul bisa menyebabkan kerusakan syaraf dan kehilangan kepekaan terhadap rangsangan.
Jika Anda merasa masalah-masalah ini terjadi pada Anda, coba konsultasikan dengan dokter Anda. Tapi jika punya kondisi fisik yang bagus dan sudah tidur dengan cukup, mungkin kesulitan mendapatkan orgasme lebih disebabkan karena masalah psikis.
Masalah psikis
Teman Anda mungkin menganjurkan mencoba untuk santai, tetapi kalau hanya begitu sederhana pasti Anda sudah bisa melakukannya sekarang. Masalahnya di sini, problem psikis bukanlah hal yang bisa dijelaskan secara rasional.
Beberapa macam masalah yang biasa terjadi pada wanita. Coba lihat mungkin ada yang sesuai dengan yang Anda alami:
- Terlalu perfeksionis
Semua ingin serba sempurna. Mulai dari cara berhubungan seks, suasana sampai pada mood pun harus benar-benar dalam keadaan yang sempurna.
- Takut lepas kendali
Sifat ini mempengaruhi banyak aspek dalam hidup Anda, bukan hanya pada seks.
- Kepercayaan diri yang rendah
Lebih khawatir dengan bentuk badan Anda daripada menikmati rangsangan seksual pasangan Anda adalah pembunuh utama nafsu Anda.
- Malu atau perasaan bersalah terhadap seks
Hal ini mungkin disebabkan masa kecil yang kurang baik atau karena adanya suatu trauma seksual.
- Kecemasan
Apakah anak-anak sudah tidur? Jangan-jangan telpon akan berbunyi? Apakah bisa terdengar sampai tetangga? Kucingnya sudah dikeluarkan atau belum? Sudah kirim laporan atau belum ya?
Jika semua kecemasan itu ada dalam pikiran Anda, itu berarti pikiran Anda sama sekali tidak berada dalam hubungan seks yang Anda lakukan.
- Menjadi seorang penonton
Anda mungkin bisa mengatakan menunggu ketika sedang memasak air malahan terasa tidak kunjung mendidih. Hal ini juga berlaku dalam orgasme. Jika Anda terus menunggu-nunggu momen itu, Anda malah tidak akan dapat menikmatinya.
- Hubungan yang bermasalah
Anda tentu tidak dapat mengharapkan bisa mendapatkan seks yang menyenangkan dengan seorang musuh. Jika ada ketegangan dalam hubungan Anda, selesaikan dulu sebelum Anda masuk ke dalam kamar tidur.
Monday, March 10, 2008
Dunia Kesehatan : MALARIA
http://health-solution-center.blogspot.com/
MALARIA
Penanganan MALARIA
Sejak tahun 1638 malaria telah diatasi dengan getah dari batang pohon cinchona, yang lebih dikenal dengan nama kina, yang sebenarnya beracun dan menekan pertumbuhan protozoa dalam jaringan darah. Pada tahun 1930, ahli obat-obatan Jerman berhasil menemukan Atabrine ( quinacrine hydrocloride ) yang pada saat itu lebih efektif daripada quinine dan kadar racunnya lebih rendah. Sejak akhir perang dunia kedua, klorokuin dianggap lebih mampu menangkal dan menyembuhkan demam rimba secara total, juga lebih efektif dalam menekan jenis-jenis malaria dibandingkan dengan Atabrine atau quinine. Obat tersebut juga mengandung kadar racun paling rendah daripada obat-obatan lain yang terdahulu dan terbukti efektif tanpa perlu digunakan secara terus menerus.
Namun baru-baru ini strain Plasmodium falciparum, organisme yang menyebabkan malaria tropika memperlihatkan adanya daya tahan terhadap klorokuin serta obat anti malaria sintetik lain. Strain jenis ini ditemukan terutama di Vietnam, dan juga di semenanjung Malaysia, Afrika dan Amerika Selatan. Kina juga semakin kurang efektif terhadap strain plasmodium falciparum. Seiring dengan munculnya strain parasit yang kebal terhadap obat-obatan tersebut, fakta bahwa beberapa jenis nyamuk pembawa (anopheles) telah memiliki daya tahan terhadap insektisida seperti DDT telah mengakibatkan peningkatan jumlah kasus penyakit malaria di beberapa negara tropis. Sebagai akibatnya, kasus penyakit malaria juga mengalami peningkatan pada para turis dari Amerika dan Eropa Barat yang datang ke Asia dan Amerika Tengah dan juga diantara pengungsi-pengungsi dari daerah tersebut. Para turis yang datang ke tempat yang dijangkiti oleh penyakit malaria yang tengah menyebar, dapat diberikan obat anti malaria seperti profilaksis (obat pencegah).
Obat-obat pencegah malaria seringkali tetap digunakan hingga beberapa minggu setelah kembali dari bepergian. Mefloquine telah dibuktikan efektif terhadap strain malaria yang kebal terhadap klorokuin, baik sebagai pengobatan ataupun sebagai pencegahan. Namun obat tersebut saat ini tengah diselidiki apakah dapat menimbulkan efek samping yang merugikan. Suatu kombinasi dari sulfadoxine dan pyrimethamine digunakan untuk pencegahan di daerah-daerah yang terjangkit malaria yang telah kebal terhadap klorokuin. Sementara Proguanil digunakan hanya sebagai pencegahan.
Saat ini para ahli masih tengah berusaha untuk menemukan vaksin untuk malaria. Beberapa vaksin yang dinilai memenuhi syarat kini tengah diuji coba klinis guna keamanan dan keefektifan dengan menggunakan sukarelawan, sementara ahli lainnya tengah berupaya untuk menemukan vaksin untuk penggunaan umum. Penyelidikan tengah dilakukan untuk menemukan sejumlah obat dengan bahan dasar artemisin, yang digunakan oleh ahli obat-obatan Cina untuk menyembuhkan demam. Bahan tersebut terbukti efektif terhadap Plasmodium falciparum namun masih sangat sulit untuk diperbanyak jumlahnya.
Malaria adalah penyakit yang dapat bersifat cepat maupun lama prosesnya, malaria disebabkan oleh parasit malaria / Protozoa genus Plasmodium bentuk aseksual yang masuk kedalam tubuh manusia ditularkan oleh nyamuk malaria ( anopeles ) betina ( WHO 1981 ) ditandai dengan deman, muka nampak pucat dan pembesaran organ tubuh manusia. Parasit malaria pada manusia yang menyebabkan Malaria adalah Plasmodium falciparum, plasmodium vivax, plasmodium ovale dan plasmodium malariae.Parasit malaria yang terbanyak di Indonesia adalah Plasmodium falciparum dan plasmodium vivax atau campuran keduanya, sedangkan palsmodium ovale dan malariae pernah ditemukan di Sulawesi, Irian Jaya dan negara Timor Leste. Proses penyebarannya adalah dimulai nyamuk malaria yang mengandung parasit malaria, menggigit manusia sampai pecahnya sizon darah atau timbulnya gejala demam. Proses penyebaran ini akan berbeda dari setiap jenis parasit malaria yaitu antara 9 ? 40 hari ( WHO 1997 )
Siklus parasit malaria adalah setelah nyamuk Anopheles yang mengandung parasit malaria menggigit manusia, maka keluar sporozoit dari kelenjar ludah nyamuk masuk kedalam darah dan jaringan hati. Parasit malaria pada siklus hidupnya, membentuk stadium sizon jaringan dalam sel hati ( ekso-eritrositer ). Setelah sel hati pecah akan keluar merozoit / kriptozoit yang masuk ke eritrosit membentuk stadium sizon dalam eritrosit ( stadium eritrositer ), mulai bentuk tropozoit muda sampai sison tua / matang sehingga eritrosit pecah dan keluar merosoit. Merosoit sebagian besar masuk kembali ke eritrosit dan sebagian kecil membentuk gametosit jantan dan betina yang siap untuk diisap oleh nyamuk malaria betina dan melanjutkan siklus hidup di tubuh nyamuk (stadium sporogoni). Pada lambung nyamuk terjadi perkawinan antara sel gamet jantan (mikro gamet) dan sel gamet betina (makro gamet) yang disebut zigot. Zigot akan berubah menjadi ookinet, kemudian masuk ke dinding lambung nyamuk berubah menjadi ookista. Setelah ookista matang kemudian pecah, maka keluar sporozoit dan masuk ke kelenjar liur nyamuk yang siap untuk ditularkan ke dalam tubuh manusia. Khusus P. Vivax dan P. Ovale pada siklus parasitnya di jaringan hati (sizon jaringan), sebagian parasit yang berada dalam sel hati tidak melanjutkan siklusnya ke sel eritrosit tetapi tertanam di jaringan hati disebut Hipnosoit (lihat bagan siklus), bentuk hipnosoit inilah yang menyebabkan malaria relapse. Pada penderita yang mengandung hipnosoit, apabila suatu saat dalam keadaan daya tahan tubuh menurun misalnya akibat terlalu lelah/sibuk/stres atau perobahan iklim (musim hujan), maka hipnosoit akan terangsang untuk melanjutkan siklus parasit dari dalam sel hati ke eritrosit. Setelah eritrosit yang berparasit pecah akan timbul gejala penyakitnya kembali. Misalnya 1 ? 2 tahun yang sebelumnya pernah menderita P. Vivax/Ovale dan sembuh setelah diobati, suatu saat dia pindah ke daerah bebas malaria dan tidak ada nyamuk malaria, dia mengalami kelelahan/stres, maka gejala malaria muncul kembali dan bila diperiksa SD-nya akan positif P. Vivax/Ovale.
Pada P. Falciparum dapat menyerang ke organ tubuh dan menimbulkan kerusakan seperti pada otak, ginjal, paru, hati dan jantung, yang mengakibatkan terjadinya malaria berat/komplikasi, sedangkan P. Vivax, P. Ovale dan P. Malariae tidak merusak organ tersebut. P. falciparum dalam jaringan yang mengandung parasit tua di dalam otak, peristiwa ini yang disebut sekuestrasi. Pada penderita malaria berat, sering tidak ditemukan plasmodium dalam darah tepi karena telah mengalami sekuestrasi. Meskipun angka kematian malaria serebral mencapai 20 ? 50 %, hampir semua penderita yang tertolong tidak menunjukkan gejala sisa neurologis (sekuele) pada orang dewasa. Malaria pada anak sebagian kecil dapat terjadi sekuele. Pada daerah hiperendemis atau immunitas tinggi apabila dilakukan pemeriksaan SD sering dijumpai SD positif tanpa gejala klinis pada lebih dari 60 % jumlah penduduk.
PENATALAKSANAAN MALARIA BERAT
Selalu lakukan pemeriksaan secara legaartis, yang tdd :
Anamnesis secara lengkap (allo dan/ auto anamnesis bila memungkinkan)
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratorium : parasitologi, darah tepi lengkap, uji fungsi hati, uji fungsi ginjal dan lain-lain untuk mendukung/menyingkirkan diagnosis/komplikasi lain, misal :: punksi lumbal, foto thoraks, dan lain-lain.
Penatalaksanaan malaria berat secara garis besar mempunyai 3 komponen penting yaitu :
Terapi spesifik dengan kemoterapi anti malaria.
Terapi supportif (termasuk perawatan umum dan pengobatan simptomatik)
Pengobatan terhadap komplikasi
Pada setiap penderita malaria berat, maka tindakan yang dilakukan di puskesmas sebelum dirujuk adalah :
A. Tindakan umum
B. Pengobatan simptomatik
C. Pemberian anti malaria pra rujukan : dosis I Kinin antipirin 10 mg/KgBB IM (dosis tunggal)
A. Tindakan umum ( di tingkat Puskesmas ) :
Persiapkan penderita malaria berat untuk dirujuk ke rumah sakit/fasilitas pelayanan yang lebih tinggi, dengan cara :
Jaga jalan nafas dan mulut untuk menghindari terjadinya asfiksia, bila diperlukan beri oksigen (O2)
Perbaiki keadaan umum penderita (beri cairan dan perawatan umum)
Monitoring tanda-tanda vital antara lain : keadaan umum, kesadaran, pernafasan, tekanan darah, suhu, dan nadi setiap 30 menit (selalu dicatat untuk mengetahui perkembangannya)
Untuk konfirmasi diagnosis, lakukan pemeriksaan SD tebal. Penilaian sesuai kriteria diagnostik mikroskopik.
Bila hipotensi, tidurkan dalam posisi Trendenlenburg dan diawasi terus tensi, warna kulit dan suhu, laporkan ke dokter segera.
Kasus dirujuk ke rumah sakit bila kondisi memburuk
Buat / isi status penderita yang berisi catatan mengenai : identitas penderita, riwayat perjalanan penyakit, riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium (bila tersedia), diagnosis kerja, diagnosis banding, tindakan & pengobatan yang telah diberikan, rencana tindakan/pengobatan, dan lain-lain yang dianggap perlu (misal : bila keluarga penderita menolak untuk dirujuk maka harus menandatangani surat pernyataan yang disediakan untuk itu). Catatan vital sign disatukan kedalam status penderita.
B. Pengobatan simptomatik :
Pemberian antipiretik untuk mencegah hipertermia : parasetamol 15 mg/KgBB/x, beri setiap 4 jam dan lakukan juga kompres hangat.
Bila kejang, beri antikonvulsan : Dewasa : Diazepam 5-10 mg IV (secara perlahan jangan lebih dari 5 mg/menit) ulang 15 menit kemudian bila masih kejang. Jangan diberikan lebih dari 100 mg/24 jam.
Bila tidak tersedia Diazepam, sebagai alternatif dapat dipakai Phenobarbital 100 mg IM/x
(dewasa) diberikan 2 x sehari.
C. Pemberian obat anti malaria spesifik :
Kina intra vena (injeksi) masih merupakan obat pilihan (drug of choice) untuk malaria berat. Kemasan garam Kina HCL 25 % injeksi, 1 ampul berisi 500 mg / 2 ml.
Pemberian anti malaria pra rujukan (di puskesmas) : apabila tidak memungkinkan pemberian kina perdrip maka dapat diberikan dosis I Kinin antipirin 10 mg/KgBB IM (dosis tunggal).
Cara pemberian :
Kina HCL 25 % (perdrip), dosis 10mg/Kg BB atau 1 ampul (isi 2 ml = 500 mg) dilarutkan dalam 500 ml dextrose 5 % atau dextrose in saline diberikan selama 8 jam dengan kecepatan konstan 2 ml/menit, diulang dengan cairan yang sama setiap 8 jam sampai penderita dapat minum obat.
Bila penderita sudah dapat minum, Kina IV diganti dengan Kina tablet / per oral dengan dosis 10 mg/Kg BB/ x dosis, pemberian 3 x sehari (dengan total dosis 7 hari dihitung sejak pemberian infus perdrip yang pertama).
Catatan :
Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena dapat menyebabkan kadar dalam plasma sangat tinggi dengan akibat toksisitas pada jantung dan kematian.
Bila karena berbagai alasan Kina tidak dapat diberikan melalui infus, maka dapat diberikan IM dengan dosis yang sama pada paha bagian depan masing-masing 1/2 dosis pada setiap paha (jangan diberikan pada bokong). Bila memungkinkan untuk pemakaian IM, kina diencerkan dengan normal saline untuk mendapatkan konsentrasi 60-100 mg/ml
Apabila tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian 48 jam kina parenteral, maka dosis maintenans kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya dan lakukan pemeriksaan parasitologi serta evaluasi klinik harus dilakukan.
Total dosis kina yang diperlukan :
Hari 0 : 30 mg/Kg BB
Hari I : 30 mg/Kg BB
Hari II dan berikutnya : 15-20 mg/Kg BB.
Dosis maksimum dewasa : 2.000 mg/hari.
Hindari sikap badan tegak pada pasien akut selama terapi kina untuk menghindari hipotensi postural berat.
Bila tidak memungkinkan dirujuk, maka penanganannya : lanjutkan penatalaksanaan sesuai protap umum Rumah Sakit (seperti telah diuraikan diatas), yaitu :
Pengobatan spesifik dengan obat anti malaria.
Pengobatan supportif/penunjang (termasuk perawatan umum dan pengobatan simptomatik)
Ditambah pengobatan terhadap komplikasi.
PENATALAKSANAAN KOMPLIKASI
1. Malaria cerebral
Didefinisikan sebagai unrousable coma pada malaria falsiparum, suatu perubahan sensorium yaitu manifestasi abnormal behaviour/kelakuan abnormal pada seorang penderita dari mulai yang paling ringan sampai koma yang dalam. Terbanyak bentuk yang berat.
Diantaranya berbagai tingkatan penurunan kesadaran berupa delirium, mengantuk, stupor, dan ketidak sadaran dengan respon motorik terhadap rangsang sakit yang dapat diobservasi/dinilai. Onset koma dapat bertahap setelah stadium inisial konfusi atau mendadak setelah serangan pertama. Tetapi ketidak sadaran post iktal jarang menetap setelah lebih dari 30-60 menit. Bila penyebab ketidaksadaran masih ragu-ragu, maka penyebab ensefalopahty lain yang lazim ditempat itu, seperti meningoensefalitis viral atau bakterial harus disingkirkan.
Manifestasi neurologis ( 1 atau beberapa manifestasi ) berikut ini bisa ada :
Ensefalopathy difus simetris.
Kejang umum atau fokal.
Tonus otot dapat meningkat atau turun.
Refleks tendon bervariasi.
Terdapat plantar fleksi atau plantar ekstensi.
Rahang mengatup rapat dan gigi kretekan (seperti mengasah).
Mulut mencebil (pouting) atau timbul refleks mencebil bila sisi mulut dipukul.
Motorik abnormal seperti deserebrasi rigidity dan dekortikasi rigidity.
Tanda-tanda neurologis fokal kadang-kadang ada.
Manifestasi okular : pandangan divergen (dysconjugate gaze) dan konvergensi spasme sering terjadi. Perdarahan sub konjunctive dan retina serta papil udem kadang terlihat.
Kekakuan leher ringan kadang ada. Tetapi tanda Frank (Frank sign) meningitis, Kernigs (+) dan photofobia jarang ada. Untuk itu adanya meningitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan punksi lumbal (LP).
Cairan serebrospinal (LCS) jernih, dengan < 10 lekosit/ml, protein sering naik ringan.
Di derah endemik malaria, semua kasus demam dengan perubahan sensorium harus diobati sebagai serebral malaria, sementara menyingkirkan meningoensefalitis yang biasa terjadi di tempat itu.
Prinsip penatalaksanaan :
Penatalaksanaan malaria serebral pada umumnya sama seperti pada malaria berat. Disamping pemberian obat anti malaria spesifik, beberapa hal penting perlu diperhatikan :
Perawatan pasien tidak sadar.
Pengobatan simptomatik : pengobatan hiperpireksia dan pengobatan yang cepat bila ada kejang. Cara pemberian anti piretik dan antikonvulsan seperti sudah dijelaskan diatas.
Deteksi dini & pengobatan komplikasi berat lainnya.
Hati-hati terhadap terjadinya infeksi bakteri terutama pada pasien-pasien dengan pemasangan IV-line, intubasi endotracheal atau kateter saluran kemih. Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya aspirasi pneumonia.
Perawatan pasien tidak sadar meliputi :
Buat grafik suhu, nadi dan pernafasan secara akurat.
Pasang IVFD. Untuk mencegah terjadinya trombophlebitis dan infeksi yang sering terjadi melalui IV-line maka IV-line sebaiknya diganti setiap 2-3 hari.
Pasang kateter urethra dengan drainase/ kantong tertutup. Pemasangan kateter dengan memperhatikan kaidah a/antisepsis.
Pasang nasogastric tube (maag slang) dan sedot isi lambung untuk mencegah aspirasi pneumonia.
Mata dilindungi dengan pelindung mata untuk menghindari ulkus kornea yang dapat terjadi karena tidak adanya refleks mengedip pada pasien tidak sadar.
Menjaga kebersihan mulut untuk mencegah infeksi kelenjar parotis karena kebersihan rongga mulut yang rendah pada pasien tidak sadar.
Ubah/balik posisi lateral secara teratur untuk mencegah luka dekubitus dan hypostatic pneumonia.
Hal-hal yang perlu dimonitor :
Tensi, nadi, suhu dan pernafasan setiap 30 menit.
Pemeriksaan derajat kesadaran dengan modifikasi Glasgow coma scale (GCS) setiap 6 jam.
Hitung parasit setiap 12-24 jam.
Hb & Ht setiap hari.
Gula darah setiap 4 jam.
Parameter lain sesuai indikasi ( misal : ureum, creatinin & kalium darah pada komplikasi gagal ginjal ).
Pemeriksaan derajat kesadaran (modifikasi Glasgow coma score)
Obat-obat berikut dahulu pernah dipakai untuk pengobatan malaria serebral tetapi menurut WHO sekarang tidak boleh dipakai karena berbahaya, yaitu :
? Dexamethason dan Kotikosteroid lainnya
? Obat anti inflamasi yang lain
? Anti udem serebral (urea, manitol)
? Dextran berat molekul rendah
? Epinephrine (adrenalin)
? Heparin.
Penatalaksanaan pasien koma
Selalu memakai prinsip ABC ( A=Airway, B=Breathing, C=Circulation) + D=Drug [defibrilasi].
Airway ( jalan nafas ) :
Jaga jalan nafas agar selalu bersih/tanpa hambatan, dengan cara :
Bersihkan jalan nafas dari saliva, muntahan, dll
Pasien posisi lateral
Tempat tidur datar/tanpa bantal.
Mencegah aspirasi cairan lambung masuk ke saluran pernafasan, dengan jalan : posisi lateral dan pemasangan NGT untuk menyedot isi lambung.
Breathing (pernafasan) :
Bila takipnoe, pernafasan asidosis : berikan penunjang ventilasi , misal : O2, dan rujuk ke ICU.
Circulation (kardiovaskular) :
Periksa dan catat : Nadi, tensi, JVP, CVP (bila memungkinkan), turgor kulit, dll.
Jaga keseimbangan cairan : lakukan monitoring balans cairan dengan mencatat intake dan output cairan secara akurat.
Pemasangan kateter urethra dengan drainage/bag tertutup untuk mengukur volume urin. Bila fungsi ginjal baik, adanya dehidrasi atau overhidrasi dapat juga diketahui dari volume urin. Normal volume urin : 1 ml/menit [1 ml/kg BB/jam]. Bila volume urin < 30 ml/jam, mungkin terjadi dehidrasi (periksa juga tanda-tanda lain dehirasi), maka tambahkan intake cairan melalui IV-line. Bila volume urin > 90 ml/jam, kurangi intake cairan untuk mencegah overload yang mengakibatkan udem paru.
2. Anemia berat ( Hb < 5 gr % )
Bila Ht < 15 % atau Hb < 5 g %, tindakan :
Berikan transfusi darah 10 ? 20 ml/kgBB [rumus: tiap 4 ml/kg BB darah akan menaikkan Hb 1 g%] paling baik darah segar atau PRC, dengan memonitor kemungkinan terjadinya overload karena pemberian transfusi darah dapat memperberat kerja jantung. Untuk mencegah overload, dapat diberikan furosemide 20 mg IV. Pasien dengan gagal ginjal hanya diberikan PRC. Volume transfusi dimasukkan sebagai input dalam catatan balans cairan.
3. Hypoglikemia (Gula darah < 40 mg %)
Sering terjadi pada penderita malaria berat terutama anak usia < 3 tahun, ibu hamil sebelum atau sesudah pemberian terapi kina (kina menyebabkan hiperinsulinemia), maupun penderita malaria berat lain dengan terapi kina. Penyebab lain diduga karena terjadi peningkatan uptake glukosa oleh parasit malaria.
Tindakan :
a. Berikan 10 ? 100 ml Glukosa 40 % IV secara injeksi bolus (anak-anak : 1 ml/Kg BB)
b. Infus glukosa 5 % atau 10 % perlahan-lahan untuk mencegah hipoglikemia berulang.
c. Monitoring teratur kadar gula darah setiap 4-6 jam.
Bila sarana pemeriksaan gula darah tidak tersedia, pengobatan sebaiknya diberikan berdasarkan kecurigaan klinis adanya hipoglikemia.
4. Kolaps sirkulasi, syok hipovolume, hipotensi, ?Algid malaria? dan septikaemia
Sering terlihat pada pasien-pasien dengan :
Dehidrasi dengan hipovolemia (akibat muntah-muntah dan intake cairan kurang)
Pasien dengan diare dan peripheral circulatory failure (algid malaria)
Perdarahan masif GI tract
Mengikuti ruptur limpa
Dengan komplikasi septikaemia gram negative
Kolaps sirkulasi lebih lanjut berakibat komplikasi asidosis metabolik, respiratory distress dan gangguan fungsi / kerusakan jaringan.
Gejala : hipotensi dengan tekanan sistolik < 70 mm Hg pada orang dewasa dan < 50 mm Hg pada anak-anak, konstriksi vena perifer.
Gejala khas : kulit dingin, suhu 38-40 oC, mata cekung, cianosis pada bibir dan kuku, nafas cepat, nadi cepat dan dangkal, nyeri ulu hati, dapat disertai mual/muntah, diare berat.
Tindakan :
Koreksi hipovolemia dengan pemberian cairan yang tepat (NaCL 0,9 %, ringer laktat, dextrose 5 % in saline), plasma expander (darah segar, plasma, haemacell atau bila tidak tersedia dengan dextran 70) dalam waktu 1/2 - 1 jam pertama 500 ml, bila tidak ada perbaikan tensi dan tidak ada overhidrasi, beri 1000 ml, tetes diperlambat dan diulang bila dianggap perlu.
Bila memungkinkan, monitor dengan CVP ( tekanan dipelihara antara 0 s/d +5 cm)
Bila terjadi hipovolemia menetap, diberikan Dopamin dengan dosis inisial 2 ug/Kg/menit yang dilarutkan dalam dextrose 5 %. [pada hipovolemia kontra indikasi untuk pemberian inotropik karena tidak akan menaikkan TD malah menimbulkan takikardi yang justru akan merugikan. Bila hipovolemia sudah teratasi tapi TD belum naik, kemungkinan kontraktilitas miokard yang jelek ? diperbaiki dengan pemberian Dobutamin, bukan Dopamin, dengan dosis sampai 20 µg/kg BB/m] dosis dinaikkan secara hati-hati sampai tekanan sistolik mencapai 80-90 mm Hg.
Periksa kadar gula darah untuk menyingkirkan kemungkinan hipoglokemia.
Buat kultur darah dan resistensi test. Mulai segera pemberian antibiotik broad spektrum, misal : generasi ketiga sefalosporin bila tersedia, yang dapat dikombinasi dengan aminoglikosida bila fungsi renal sudah dipastikan baik (periksa juga ureum & kreatinin darah)
Apabila CVP tidak mungkin dilakukan, monitoring dan pencatatan balas cairan secara akurat sangat membantu agar tidak terjadi overhidrasi.
Pada Anak-anak :
Lakukan Rehidrasi (Pemberian cairan infus), larutan dektrosa 5 % atau 10 % atau NaCL 0,9 %, Dosis 1 jam pertama, 30 ml/kgBB atau 10 x kgBB per tetes/menit. Misalnya : anak dengan BB 10 kg = 10 x 10 tetes/menit, dilanjutkan 20 ml/kgBB (23Jam sisa), atau 7 tetes x kgBB/menit, dilanjutkan pemberian maintenace 10 ml/kgBB/hari atau 3 tetes/kgBB/menit
Awasi nadi, tensi dan pernafasan setiap 30 menit.
5. Gagal ginjal akut (acute renal failure / ARF )
Terjadi sebagai akibat hipovolemia atau ischemik sehingga terjadi gangguan mikrosirkulasi ginjal yang menurunkan filtrasi glomerulus. Paling sering terjadi gagal ginjal pre-renal akibat dehidrasi diatas (>50 %), sedangkan gagal ginjal renal akibat tubuler nekrosis akut hanya terjadi pada 5-10 % penderita. Namun ARF sering terdeteksi terlambat setelah pasien sudah mengalami overload (dekompensasi kordis) akibat rehidrasi yang berlebihan (overhidrasi) pada penderita dengan oliguria/anuria, dan karena tidak tercatatnya balans cairan secara akurat.
Pada pasien severe falciparum malaria, bila memungkinkan sebaiknya kadar serum kreatinin diperiksa 2-3 x/minggu.
Bila terjadi oliguria (volume urin < 400 ml/24 jam atau < 20 ml/jam pada dewasa atau < 0,5 ml/Kg BB/jam pada anak-anak setelah diobservasi/diukur selama 4-6 jam) disertai tanda klinik dehidrasi maka berikan cairan untuk rehidrasi dengan terus berhati-hati/ mengawasi apakah ada tanda-tanda overload.
Untuk itu awasi semua tanda-tanda vital, monitoring balans cairan, pemeriksaan auskultasi paru, jugular venous pressure (JVP) dan central venous pressure (CVP) bila tersedia dan observasi volume urin.
Bila terjadi anuria. Berikan diuretik : Furosemid inisial 40 mg IV, observasi urin output. Bila tidak ada respon, dosis furosemid ditingkatkan progresif sampai maksimum 200 mg [dosis furosemid: 10-30 mg/jam] dengan interval 30 menit. Bila masih tidak respon (urin output ( - ) atau < 120 ml/2jam) periksa kadar ureum & kreatinin serum karena mungkin telah terjadi ARF.
Persiapkan penderita untuk dialisis atau rujuk ke RS dengan fasilitas dialisis bila terjadi ARF. ARF biasanya reversibel apabila ditanggulangi secara cepat dan tepat.
ARF yang disertai tanda-tanda overload (dekompensasi jantung) sangat berbahaya bila tidak ditanggulangi secara cepat.
Tanda-tanda overload dari ringan sampai berat berupa : batuk-batuk, tensi meningkat/sedikit meningkat, nadi cepat, auskultasi paru ada ronki basah di basal bilateral paru, auskultasi jantung mungkin terdengar bunyi jantung tambahan (bunyi ke 3) dan JVP meningkat, serta pasien terlihat agak sesak sampai sesak nafas berat.
Bila ada tanda-tanda overload, segera hentikan pemberian cairan.
Rencanakan dialisis dengan ultrafiltrasi atau peritoneal dialisis, atau rujuk ke RS dengan fasilitas dialisis.
Periksa juga kadar elektrolit darah dan EKG bila tersedia untuk mencari terjadinya hiperkalemia, asidosis metabolik serta gangguan keseimbangan asam-basa.
Catatan :
Normal kadar ureum darah : 20 - 40 mg/dl, kreatinin N : 0,8 ? 1,1 mg/dl.
Indikasi dialisis :
Klinik :
Tanda-tanda uremik
Tanda-tanda volume overload
Pericardial friction rub
Pernafasan asidosis setelah rehidrasi
Indikasi laboratorium :
Hiperkalemia (K > 6,5 mEq/L, hiperkalemia dapat juga didiagnosis melalui EKG)
Peningkatan ureum dengan uremic syndrome.
6. Perdarahan & gangguan pembekuan darah (coagulopathy)
Perdarahan dan koagulopathi jarang ditemukan di daerah endemis pada negara-negara tropis. Sering terjadi pada penderita yang non-imun terhadap malaria. Biasanya terjadi akibat trombositopenia berat ditandai manifestasi perdarahan pada kulit berupa petekie, purpura, hematom atau perdarahan pada hidung, gusi dan saluran pencernaan.
Gangguan koagulasi intra vaskuler jarang terjadi.
Tindakan :
Beri vitamin K injeksi dengan dosis 10 mg intravena bila protrombin time atau partial tromboplastin time memanjang.
Periksa Hb : bila < 5 gr% direncanakan transfusi darah, 10 ? 20 ml /kgBB
Hindarkan pemberian korttikosteroid untuk trombositopenia.
Perbaiki keadaan gizi penderita.
7. Edema paru
Edem paru sering timbul belakangan dibanding komplikasi akut lainnya.
Edema paru terjadi akibat :
ARDS (Adult respiratory distress syndrome) [tanda-tanda ARDS: timbul akut, ada gambaran bercak putih pada foto toraks di kedua paru, rasio PaO2:FiO2 < 200, tidak ada gejala gagal jantung kiri]
Over hidrasi akibat pemberian cairan.
ARDS terjadi secara tidak langsung karena peningkatan permeabilitas kapiler di paru.
ARDS dan overload cairan, keduanya dapat terjadi sendiri-sendiri atau bersamaan.
Bentuk klinik ARDS : - Takipnoe (nafas cepat) pada fase awal
- Pernafasan dalam
- Sputum : ada darah dan berbusa.
- X-ray : ada bayangan pada kedua sisi paru dan hipoksaemia.
Perbedaan ARDS dengan fluid overload :
ARDS Fluid overload
Balans cairan Normal Input > output
CVP Normal Meninggi
Tekanan A. Pulmonal Normal Meninggi
JVP Normal Meninggi
Tindakan :
Bila ada tanda udema paru akut penderita segera dirujuk, dan sebelumnya dilakukan tindakan sebagai berikut :
1. Akibat ARDS
a. Pemberian oksigen
b. PEEP (positive end-respiratory pressure) bila tersedia.
2. Akibat over hidrasi :
- Pembatasan pemberian cairan
- Pemberian furosemid 40 mg i.v bila perlu diulang 1 jam kemudian atau dosis ditingkatkan sampai 200 mg (maksimum) sambil memonitor urin output dan tanda-tanda vital.
- Rujuk segera bila overload tidak dapat diatasi.
- Untuk kondisi mendesak (pasien kritis) dimana pernafasan sangat sesak, dan tidak cukup waktu untuk merujuk pasien, lakukan :
? Posisi pasien ½ duduk.
? Venaseksi, keluarkan darah pasien kedalam kantong transfusi/donor sebanyak 250-500 ml akan sangat membantu mengurangi sesaknya. Apabila kondisi pasien sudah normal, darah tersebut dapat dikembalikan ketubuh pasien.
8. Jaundice ( bilirubin > 3 mg%)
Manifestasi ikterus pada malaria berat sering dijumpai di Asia dan Indonesia yang mempunyai prognosis jelek.
Tindakan :
1. Tidak ada terapi khusus untuk jaundice. Bila ditemukan hemolisis berat dan Hb sangat menurun maka beri transfusi darah.
2. Bila fasilitas tidak memadai penderita sebaiknya segera di rujuk.
9. Asidosis metabolik
Asidosis dalam malaria dihasilkan dari banyak proses yang berbeda, termasuk diantaranya : obstruksi mikrosirkulasi, disfungsi renal, peningkatan glikolisis, anemia, hipoksia, dan lain-lain. Oleh karena itu asidosis metabolik sering ditemukan bersamaan dengan komplikasi lain seperti : anemia berat, ARF, hipovolemia, udem paru dan hiperparasitemia yang ditandai dengan peningkatan respirasi (cepat dan dalam), penurunan PH dan bikarbonat darah. Penyebabnya karena hipoksia jaringan dan glikolisis anaerobik. Diagnosis dan manajemen yang terlambat akan mengakibatkan kematian.
Tindakan :
a. Lakukan pemeriksaan kadar Hb. Bila penyebabnya karena anemia berat (Hb < 5 g%), maka beri transfusi darah segar atau PRC.
b. Lakukan pemeriksaan analisa gas darah, bila pH < 7,15 lakukan koreksi dengan pemberian larutan natrium bikarbonat [hati-hati koreksi dengan bicarbonat dapat meningkatkan PaCO2] melalui IV-line (walau sebenarnya pemberian natrium bikarbonat masih kontroversial). Koreksi pH arterial harus dilakukan perlahan 1-2 jam
c. Bila sesak nafas, beri O2.
d. Bila tidak tersedia fasilitas yang memadai sebaiknya penderita segera di rujuk
10. Blackwater fever (malarial haemoglobinuria)
Pasien dengan defisiensi G-6-PD dapat terjadi hemolisis intravascular dan hemoglobinuria yang dipresipitasi oleh primakuin dan obat-obat oksidan yang dipakai sebelum terkena malaria. Hemoglobinuria dihasilkan dari masifnya hemolisis. Tidak berhubungan dengan disfungsi renal secara signifikan. Blackwater biasanya sementara dan dapat berubah tanpa komplikasi. Namun dapat juga menjadi gagal ginjal akut dalam kasus-kasus yang berat.
Tindakan :
? Berikan cairan rehidrasi, monitor CVP.
? Bila Ht < 20 %, beri transfusi darah
? Lanjutkan pemberian kemoterapi anti malaria.
? Bila berkembang menjadi ARF, rujuk ke rumah sakit dengan fasilitas hemodialisis.
11. Hiperparasitemia.
Umumnya pada penderita yang non-imun, densitas parasit > 5 % dan adanya skizontaemia sering berhubungan dengan malaria berat. Tetapi di daerah endemik tinggi, sebagian anak-anak imun dapat mentoleransi densitas parasit tinggi (20-30 %) sering tanpa gejala.
Penderita dengan parasitemia tinggi akan meningkatkan resiko terjadinya komplikasi berat.
Tindakan :
1. Segera berikan kemoterapi anti malaria inisial.
2. Awasi respon pengobatan dengan memeriksa ulang parasitemianya.
3. Indikasi transfusi tukar (Exchange Blood Transfusion/EBT) adalah :
? Parasitemia > 30 % tanpa komplikasi berat
? Parasitemia > 10 % disertai komplikasi berat lainnya seperti : serebral malaria, ARF, ARDS, jaundice dan anemia berat.
? Parasitemia > 10 % dengan gagal pengobatan setelah 12-24 jam pemberian kemoterapi anti malaria yang optimal.
? Parasitemia > 10 % disertai prognosis buruk (misal : lanjut usia, adanya late stage parasites/skizon pada darah perifer)
4. Pastikan darah transfusi bebas infeksi (malaria, HIV, Hepatitis)
V. PENGOBATAN PENCEGAHAN (KEMOPROFILAKSIS)
Obat yang dipakai untuk tujuan ini pada umumnya bekerja terutama pada tingkat eritrositer, hanya sedikit yang berefek pada tingkat eksoeritrositer (hati). Obat harus digunakan terus-menerus mulai minimal 1 ? 2 minggu sebelum berangkat sampai 4 ? 6 minggu setelah keluar dari daerah endemis malaria.
OAM yang dipakai dalam kebijakan pengobatan di Indonesia adalah :
Klorokuin : banyak digunakan karena murah, tersedia secara luas, dan relatif aman untuk anak-anak, ibu hamil maupun ibu menyusui. Pada dosis pencegahan obat ini aman digunakan untuk jangka waktu 2-3 tahun. Efek samping : gangguan GI Tract seperti mual, muntah, sakit perut dan diare. Efek samping ini dapat dikurangi dengan meminum obat sesudah makan.
Pencegahan pada anak :
OAM yang paling aman untuk anak kecil adalah klorokuin. Dosis : 5 mg/KgBB/minggu. Dalam bentuk sediaan tablet rasanya pahit sehingga sebaiknya dicampur dengan makanan atau minuman, dapat juga dipilih yang berbentuk suspensi.
Untuk mencegah gigitan nyamuk sebaiknya memakai kelambu pada waktu tidur.
Obat pengusir nyamuk bentuk repellant yang mengandung DEET sebaiknya tidak digunakan untuk anak berumur < 2 tahun.
Pencegahan perorangan
Dipakai oleh masing-masing individu yang memerlukan pencegahan terhadap penyakit malaria. Obat yang dipakai : Klorokuin.
Cara pengobatannya :
- Bagi pendatang sementara :
Klorokuin diminum 1 minggu sebelum tiba di daerah malaria, selama berada di daerah malaria dan dilanjutkan selama 4 minggu setelah meninggalkan daerah malaria.
- Bagi penduduk setempat dan pendatang yang akan menetap :
Pemakaian klorokuin seminggu sekali sampai lebih dari 6 tahun dapat dilakukan tanpa efek samping. Bila transmisi di daerah tersebut hebat sekali atau selama musim penularan, obat diminum 2 kali seminggu. Penggunaan 2 kali seminggu dianjurkan hanya untuk 3 ? 6 bulan saja.
Dosis pengobatan pencegahan : Klorokuin 5 mg/KgBB atau 2 tablet untuk dewasa.
Lihat tabel berikut :
Golongan umur (tahun) Jumlah tablet klorokuin (dosis tunggal)
( frekuensi 1 x seminggu )
0 ? 1 ¼
1 ? 4 ½
5 ? 9 1
10 ? 14 1 ½
> 15 2
Pencegahan kelompok
Ditujukan pada sekelompok penduduk, khususnya pendatang non-imun yang sedang berada di daerah endemis malaria. Pencegahan kelompok memerlukan pengawasan yang lebih baik. Obat diberikan melalui unit pelayanan kesehatan, pos-pos pengobatan malaria yang dibentuk sendiri oleh penduduk di wilayah tersebut, atau melalui pos obat desa (POD) yang di dalmnya menyediakan obat-obatan lain selain obat anti malaria.
Dosis dan cara pengobatan sama seperti pengobatan pencegahan perorangan.
VI. PROGNOSIS
1. Prognosis malaria berat tergantung kecepatan diagnosa dan ketepatan & kecepatan pengobatan.
2. Pada malaria berat yang tidak ditanggulangi, maka mortalitas yang dilaporkan pada anak-anak 15 %, dewasa 20 %, dan pada kehamilan meningkat sampai 50 %.
3. Prognosis malaria berat dengan kegagalan satu fungsi organ lebih baik daripada kegagalan 2 fungsi organ
? Mortalitas dengan kegagalan 3 fungsi organ, adalah > 50 %
? Mortalitas dengan kegagalan 4 atau lebih fungsi organ, adalah > 75 %
? Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan klinis malaria berat yaitu:
? Kepadatan parasit < 100.000, maka mortalitas < 1 %
? Kepadatan parasit > 100.000, maka mortalitas > 1 %
? Kepadatan parasit > 500.000, maka mortalitas > 50 %
VI. RUJUKAN PENDERITA
Semua penderita malaria berat dirujuk / ditangani RS Kabupaten.
Apabila penderita tidak bersedia dirujuk dapat dirawat di puskesmas rawat inap dengan
konsultasi kepada dokter RS Kabupaten.
Bila perlu RS kabupaten dapat pula merujuk kepada RS Propinsi.
Cara merujuk :
1) Setiap merujuk penderita harus disertakan surat rujukan yang berisi tentang diagnosa, riwayat penyakit, pemeriksaan yang telah dilakukan dan tindakan yang sudah diberikan.
2) Apabila dibuat preparat SD malaria, harus diikutsertakan.
Kriteria penderita malaria yang dirawat inap :
Bila salah satu atau lebih dari gejala dibawah ini :
1. Malaria dengan komplikasi
2. Malaria congenital pada bayi
3. Hiperparasitemia. (Parasitemia > 5 %)
sumber: infeksi.com
MALARIA
Penanganan MALARIA
Sejak tahun 1638 malaria telah diatasi dengan getah dari batang pohon cinchona, yang lebih dikenal dengan nama kina, yang sebenarnya beracun dan menekan pertumbuhan protozoa dalam jaringan darah. Pada tahun 1930, ahli obat-obatan Jerman berhasil menemukan Atabrine ( quinacrine hydrocloride ) yang pada saat itu lebih efektif daripada quinine dan kadar racunnya lebih rendah. Sejak akhir perang dunia kedua, klorokuin dianggap lebih mampu menangkal dan menyembuhkan demam rimba secara total, juga lebih efektif dalam menekan jenis-jenis malaria dibandingkan dengan Atabrine atau quinine. Obat tersebut juga mengandung kadar racun paling rendah daripada obat-obatan lain yang terdahulu dan terbukti efektif tanpa perlu digunakan secara terus menerus.
Namun baru-baru ini strain Plasmodium falciparum, organisme yang menyebabkan malaria tropika memperlihatkan adanya daya tahan terhadap klorokuin serta obat anti malaria sintetik lain. Strain jenis ini ditemukan terutama di Vietnam, dan juga di semenanjung Malaysia, Afrika dan Amerika Selatan. Kina juga semakin kurang efektif terhadap strain plasmodium falciparum. Seiring dengan munculnya strain parasit yang kebal terhadap obat-obatan tersebut, fakta bahwa beberapa jenis nyamuk pembawa (anopheles) telah memiliki daya tahan terhadap insektisida seperti DDT telah mengakibatkan peningkatan jumlah kasus penyakit malaria di beberapa negara tropis. Sebagai akibatnya, kasus penyakit malaria juga mengalami peningkatan pada para turis dari Amerika dan Eropa Barat yang datang ke Asia dan Amerika Tengah dan juga diantara pengungsi-pengungsi dari daerah tersebut. Para turis yang datang ke tempat yang dijangkiti oleh penyakit malaria yang tengah menyebar, dapat diberikan obat anti malaria seperti profilaksis (obat pencegah).
Obat-obat pencegah malaria seringkali tetap digunakan hingga beberapa minggu setelah kembali dari bepergian. Mefloquine telah dibuktikan efektif terhadap strain malaria yang kebal terhadap klorokuin, baik sebagai pengobatan ataupun sebagai pencegahan. Namun obat tersebut saat ini tengah diselidiki apakah dapat menimbulkan efek samping yang merugikan. Suatu kombinasi dari sulfadoxine dan pyrimethamine digunakan untuk pencegahan di daerah-daerah yang terjangkit malaria yang telah kebal terhadap klorokuin. Sementara Proguanil digunakan hanya sebagai pencegahan.
Saat ini para ahli masih tengah berusaha untuk menemukan vaksin untuk malaria. Beberapa vaksin yang dinilai memenuhi syarat kini tengah diuji coba klinis guna keamanan dan keefektifan dengan menggunakan sukarelawan, sementara ahli lainnya tengah berupaya untuk menemukan vaksin untuk penggunaan umum. Penyelidikan tengah dilakukan untuk menemukan sejumlah obat dengan bahan dasar artemisin, yang digunakan oleh ahli obat-obatan Cina untuk menyembuhkan demam. Bahan tersebut terbukti efektif terhadap Plasmodium falciparum namun masih sangat sulit untuk diperbanyak jumlahnya.
Malaria adalah penyakit yang dapat bersifat cepat maupun lama prosesnya, malaria disebabkan oleh parasit malaria / Protozoa genus Plasmodium bentuk aseksual yang masuk kedalam tubuh manusia ditularkan oleh nyamuk malaria ( anopeles ) betina ( WHO 1981 ) ditandai dengan deman, muka nampak pucat dan pembesaran organ tubuh manusia. Parasit malaria pada manusia yang menyebabkan Malaria adalah Plasmodium falciparum, plasmodium vivax, plasmodium ovale dan plasmodium malariae.Parasit malaria yang terbanyak di Indonesia adalah Plasmodium falciparum dan plasmodium vivax atau campuran keduanya, sedangkan palsmodium ovale dan malariae pernah ditemukan di Sulawesi, Irian Jaya dan negara Timor Leste. Proses penyebarannya adalah dimulai nyamuk malaria yang mengandung parasit malaria, menggigit manusia sampai pecahnya sizon darah atau timbulnya gejala demam. Proses penyebaran ini akan berbeda dari setiap jenis parasit malaria yaitu antara 9 ? 40 hari ( WHO 1997 )
Siklus parasit malaria adalah setelah nyamuk Anopheles yang mengandung parasit malaria menggigit manusia, maka keluar sporozoit dari kelenjar ludah nyamuk masuk kedalam darah dan jaringan hati. Parasit malaria pada siklus hidupnya, membentuk stadium sizon jaringan dalam sel hati ( ekso-eritrositer ). Setelah sel hati pecah akan keluar merozoit / kriptozoit yang masuk ke eritrosit membentuk stadium sizon dalam eritrosit ( stadium eritrositer ), mulai bentuk tropozoit muda sampai sison tua / matang sehingga eritrosit pecah dan keluar merosoit. Merosoit sebagian besar masuk kembali ke eritrosit dan sebagian kecil membentuk gametosit jantan dan betina yang siap untuk diisap oleh nyamuk malaria betina dan melanjutkan siklus hidup di tubuh nyamuk (stadium sporogoni). Pada lambung nyamuk terjadi perkawinan antara sel gamet jantan (mikro gamet) dan sel gamet betina (makro gamet) yang disebut zigot. Zigot akan berubah menjadi ookinet, kemudian masuk ke dinding lambung nyamuk berubah menjadi ookista. Setelah ookista matang kemudian pecah, maka keluar sporozoit dan masuk ke kelenjar liur nyamuk yang siap untuk ditularkan ke dalam tubuh manusia. Khusus P. Vivax dan P. Ovale pada siklus parasitnya di jaringan hati (sizon jaringan), sebagian parasit yang berada dalam sel hati tidak melanjutkan siklusnya ke sel eritrosit tetapi tertanam di jaringan hati disebut Hipnosoit (lihat bagan siklus), bentuk hipnosoit inilah yang menyebabkan malaria relapse. Pada penderita yang mengandung hipnosoit, apabila suatu saat dalam keadaan daya tahan tubuh menurun misalnya akibat terlalu lelah/sibuk/stres atau perobahan iklim (musim hujan), maka hipnosoit akan terangsang untuk melanjutkan siklus parasit dari dalam sel hati ke eritrosit. Setelah eritrosit yang berparasit pecah akan timbul gejala penyakitnya kembali. Misalnya 1 ? 2 tahun yang sebelumnya pernah menderita P. Vivax/Ovale dan sembuh setelah diobati, suatu saat dia pindah ke daerah bebas malaria dan tidak ada nyamuk malaria, dia mengalami kelelahan/stres, maka gejala malaria muncul kembali dan bila diperiksa SD-nya akan positif P. Vivax/Ovale.
Pada P. Falciparum dapat menyerang ke organ tubuh dan menimbulkan kerusakan seperti pada otak, ginjal, paru, hati dan jantung, yang mengakibatkan terjadinya malaria berat/komplikasi, sedangkan P. Vivax, P. Ovale dan P. Malariae tidak merusak organ tersebut. P. falciparum dalam jaringan yang mengandung parasit tua di dalam otak, peristiwa ini yang disebut sekuestrasi. Pada penderita malaria berat, sering tidak ditemukan plasmodium dalam darah tepi karena telah mengalami sekuestrasi. Meskipun angka kematian malaria serebral mencapai 20 ? 50 %, hampir semua penderita yang tertolong tidak menunjukkan gejala sisa neurologis (sekuele) pada orang dewasa. Malaria pada anak sebagian kecil dapat terjadi sekuele. Pada daerah hiperendemis atau immunitas tinggi apabila dilakukan pemeriksaan SD sering dijumpai SD positif tanpa gejala klinis pada lebih dari 60 % jumlah penduduk.
PENATALAKSANAAN MALARIA BERAT
Selalu lakukan pemeriksaan secara legaartis, yang tdd :
Anamnesis secara lengkap (allo dan/ auto anamnesis bila memungkinkan)
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratorium : parasitologi, darah tepi lengkap, uji fungsi hati, uji fungsi ginjal dan lain-lain untuk mendukung/menyingkirkan diagnosis/komplikasi lain, misal :: punksi lumbal, foto thoraks, dan lain-lain.
Penatalaksanaan malaria berat secara garis besar mempunyai 3 komponen penting yaitu :
Terapi spesifik dengan kemoterapi anti malaria.
Terapi supportif (termasuk perawatan umum dan pengobatan simptomatik)
Pengobatan terhadap komplikasi
Pada setiap penderita malaria berat, maka tindakan yang dilakukan di puskesmas sebelum dirujuk adalah :
A. Tindakan umum
B. Pengobatan simptomatik
C. Pemberian anti malaria pra rujukan : dosis I Kinin antipirin 10 mg/KgBB IM (dosis tunggal)
A. Tindakan umum ( di tingkat Puskesmas ) :
Persiapkan penderita malaria berat untuk dirujuk ke rumah sakit/fasilitas pelayanan yang lebih tinggi, dengan cara :
Jaga jalan nafas dan mulut untuk menghindari terjadinya asfiksia, bila diperlukan beri oksigen (O2)
Perbaiki keadaan umum penderita (beri cairan dan perawatan umum)
Monitoring tanda-tanda vital antara lain : keadaan umum, kesadaran, pernafasan, tekanan darah, suhu, dan nadi setiap 30 menit (selalu dicatat untuk mengetahui perkembangannya)
Untuk konfirmasi diagnosis, lakukan pemeriksaan SD tebal. Penilaian sesuai kriteria diagnostik mikroskopik.
Bila hipotensi, tidurkan dalam posisi Trendenlenburg dan diawasi terus tensi, warna kulit dan suhu, laporkan ke dokter segera.
Kasus dirujuk ke rumah sakit bila kondisi memburuk
Buat / isi status penderita yang berisi catatan mengenai : identitas penderita, riwayat perjalanan penyakit, riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium (bila tersedia), diagnosis kerja, diagnosis banding, tindakan & pengobatan yang telah diberikan, rencana tindakan/pengobatan, dan lain-lain yang dianggap perlu (misal : bila keluarga penderita menolak untuk dirujuk maka harus menandatangani surat pernyataan yang disediakan untuk itu). Catatan vital sign disatukan kedalam status penderita.
B. Pengobatan simptomatik :
Pemberian antipiretik untuk mencegah hipertermia : parasetamol 15 mg/KgBB/x, beri setiap 4 jam dan lakukan juga kompres hangat.
Bila kejang, beri antikonvulsan : Dewasa : Diazepam 5-10 mg IV (secara perlahan jangan lebih dari 5 mg/menit) ulang 15 menit kemudian bila masih kejang. Jangan diberikan lebih dari 100 mg/24 jam.
Bila tidak tersedia Diazepam, sebagai alternatif dapat dipakai Phenobarbital 100 mg IM/x
(dewasa) diberikan 2 x sehari.
C. Pemberian obat anti malaria spesifik :
Kina intra vena (injeksi) masih merupakan obat pilihan (drug of choice) untuk malaria berat. Kemasan garam Kina HCL 25 % injeksi, 1 ampul berisi 500 mg / 2 ml.
Pemberian anti malaria pra rujukan (di puskesmas) : apabila tidak memungkinkan pemberian kina perdrip maka dapat diberikan dosis I Kinin antipirin 10 mg/KgBB IM (dosis tunggal).
Cara pemberian :
Kina HCL 25 % (perdrip), dosis 10mg/Kg BB atau 1 ampul (isi 2 ml = 500 mg) dilarutkan dalam 500 ml dextrose 5 % atau dextrose in saline diberikan selama 8 jam dengan kecepatan konstan 2 ml/menit, diulang dengan cairan yang sama setiap 8 jam sampai penderita dapat minum obat.
Bila penderita sudah dapat minum, Kina IV diganti dengan Kina tablet / per oral dengan dosis 10 mg/Kg BB/ x dosis, pemberian 3 x sehari (dengan total dosis 7 hari dihitung sejak pemberian infus perdrip yang pertama).
Catatan :
Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena dapat menyebabkan kadar dalam plasma sangat tinggi dengan akibat toksisitas pada jantung dan kematian.
Bila karena berbagai alasan Kina tidak dapat diberikan melalui infus, maka dapat diberikan IM dengan dosis yang sama pada paha bagian depan masing-masing 1/2 dosis pada setiap paha (jangan diberikan pada bokong). Bila memungkinkan untuk pemakaian IM, kina diencerkan dengan normal saline untuk mendapatkan konsentrasi 60-100 mg/ml
Apabila tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian 48 jam kina parenteral, maka dosis maintenans kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya dan lakukan pemeriksaan parasitologi serta evaluasi klinik harus dilakukan.
Total dosis kina yang diperlukan :
Hari 0 : 30 mg/Kg BB
Hari I : 30 mg/Kg BB
Hari II dan berikutnya : 15-20 mg/Kg BB.
Dosis maksimum dewasa : 2.000 mg/hari.
Hindari sikap badan tegak pada pasien akut selama terapi kina untuk menghindari hipotensi postural berat.
Bila tidak memungkinkan dirujuk, maka penanganannya : lanjutkan penatalaksanaan sesuai protap umum Rumah Sakit (seperti telah diuraikan diatas), yaitu :
Pengobatan spesifik dengan obat anti malaria.
Pengobatan supportif/penunjang (termasuk perawatan umum dan pengobatan simptomatik)
Ditambah pengobatan terhadap komplikasi.
PENATALAKSANAAN KOMPLIKASI
1. Malaria cerebral
Didefinisikan sebagai unrousable coma pada malaria falsiparum, suatu perubahan sensorium yaitu manifestasi abnormal behaviour/kelakuan abnormal pada seorang penderita dari mulai yang paling ringan sampai koma yang dalam. Terbanyak bentuk yang berat.
Diantaranya berbagai tingkatan penurunan kesadaran berupa delirium, mengantuk, stupor, dan ketidak sadaran dengan respon motorik terhadap rangsang sakit yang dapat diobservasi/dinilai. Onset koma dapat bertahap setelah stadium inisial konfusi atau mendadak setelah serangan pertama. Tetapi ketidak sadaran post iktal jarang menetap setelah lebih dari 30-60 menit. Bila penyebab ketidaksadaran masih ragu-ragu, maka penyebab ensefalopahty lain yang lazim ditempat itu, seperti meningoensefalitis viral atau bakterial harus disingkirkan.
Manifestasi neurologis ( 1 atau beberapa manifestasi ) berikut ini bisa ada :
Ensefalopathy difus simetris.
Kejang umum atau fokal.
Tonus otot dapat meningkat atau turun.
Refleks tendon bervariasi.
Terdapat plantar fleksi atau plantar ekstensi.
Rahang mengatup rapat dan gigi kretekan (seperti mengasah).
Mulut mencebil (pouting) atau timbul refleks mencebil bila sisi mulut dipukul.
Motorik abnormal seperti deserebrasi rigidity dan dekortikasi rigidity.
Tanda-tanda neurologis fokal kadang-kadang ada.
Manifestasi okular : pandangan divergen (dysconjugate gaze) dan konvergensi spasme sering terjadi. Perdarahan sub konjunctive dan retina serta papil udem kadang terlihat.
Kekakuan leher ringan kadang ada. Tetapi tanda Frank (Frank sign) meningitis, Kernigs (+) dan photofobia jarang ada. Untuk itu adanya meningitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan punksi lumbal (LP).
Cairan serebrospinal (LCS) jernih, dengan < 10 lekosit/ml, protein sering naik ringan.
Di derah endemik malaria, semua kasus demam dengan perubahan sensorium harus diobati sebagai serebral malaria, sementara menyingkirkan meningoensefalitis yang biasa terjadi di tempat itu.
Prinsip penatalaksanaan :
Penatalaksanaan malaria serebral pada umumnya sama seperti pada malaria berat. Disamping pemberian obat anti malaria spesifik, beberapa hal penting perlu diperhatikan :
Perawatan pasien tidak sadar.
Pengobatan simptomatik : pengobatan hiperpireksia dan pengobatan yang cepat bila ada kejang. Cara pemberian anti piretik dan antikonvulsan seperti sudah dijelaskan diatas.
Deteksi dini & pengobatan komplikasi berat lainnya.
Hati-hati terhadap terjadinya infeksi bakteri terutama pada pasien-pasien dengan pemasangan IV-line, intubasi endotracheal atau kateter saluran kemih. Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya aspirasi pneumonia.
Perawatan pasien tidak sadar meliputi :
Buat grafik suhu, nadi dan pernafasan secara akurat.
Pasang IVFD. Untuk mencegah terjadinya trombophlebitis dan infeksi yang sering terjadi melalui IV-line maka IV-line sebaiknya diganti setiap 2-3 hari.
Pasang kateter urethra dengan drainase/ kantong tertutup. Pemasangan kateter dengan memperhatikan kaidah a/antisepsis.
Pasang nasogastric tube (maag slang) dan sedot isi lambung untuk mencegah aspirasi pneumonia.
Mata dilindungi dengan pelindung mata untuk menghindari ulkus kornea yang dapat terjadi karena tidak adanya refleks mengedip pada pasien tidak sadar.
Menjaga kebersihan mulut untuk mencegah infeksi kelenjar parotis karena kebersihan rongga mulut yang rendah pada pasien tidak sadar.
Ubah/balik posisi lateral secara teratur untuk mencegah luka dekubitus dan hypostatic pneumonia.
Hal-hal yang perlu dimonitor :
Tensi, nadi, suhu dan pernafasan setiap 30 menit.
Pemeriksaan derajat kesadaran dengan modifikasi Glasgow coma scale (GCS) setiap 6 jam.
Hitung parasit setiap 12-24 jam.
Hb & Ht setiap hari.
Gula darah setiap 4 jam.
Parameter lain sesuai indikasi ( misal : ureum, creatinin & kalium darah pada komplikasi gagal ginjal ).
Pemeriksaan derajat kesadaran (modifikasi Glasgow coma score)
Obat-obat berikut dahulu pernah dipakai untuk pengobatan malaria serebral tetapi menurut WHO sekarang tidak boleh dipakai karena berbahaya, yaitu :
? Dexamethason dan Kotikosteroid lainnya
? Obat anti inflamasi yang lain
? Anti udem serebral (urea, manitol)
? Dextran berat molekul rendah
? Epinephrine (adrenalin)
? Heparin.
Penatalaksanaan pasien koma
Selalu memakai prinsip ABC ( A=Airway, B=Breathing, C=Circulation) + D=Drug [defibrilasi].
Airway ( jalan nafas ) :
Jaga jalan nafas agar selalu bersih/tanpa hambatan, dengan cara :
Bersihkan jalan nafas dari saliva, muntahan, dll
Pasien posisi lateral
Tempat tidur datar/tanpa bantal.
Mencegah aspirasi cairan lambung masuk ke saluran pernafasan, dengan jalan : posisi lateral dan pemasangan NGT untuk menyedot isi lambung.
Breathing (pernafasan) :
Bila takipnoe, pernafasan asidosis : berikan penunjang ventilasi , misal : O2, dan rujuk ke ICU.
Circulation (kardiovaskular) :
Periksa dan catat : Nadi, tensi, JVP, CVP (bila memungkinkan), turgor kulit, dll.
Jaga keseimbangan cairan : lakukan monitoring balans cairan dengan mencatat intake dan output cairan secara akurat.
Pemasangan kateter urethra dengan drainage/bag tertutup untuk mengukur volume urin. Bila fungsi ginjal baik, adanya dehidrasi atau overhidrasi dapat juga diketahui dari volume urin. Normal volume urin : 1 ml/menit [1 ml/kg BB/jam]. Bila volume urin < 30 ml/jam, mungkin terjadi dehidrasi (periksa juga tanda-tanda lain dehirasi), maka tambahkan intake cairan melalui IV-line. Bila volume urin > 90 ml/jam, kurangi intake cairan untuk mencegah overload yang mengakibatkan udem paru.
2. Anemia berat ( Hb < 5 gr % )
Bila Ht < 15 % atau Hb < 5 g %, tindakan :
Berikan transfusi darah 10 ? 20 ml/kgBB [rumus: tiap 4 ml/kg BB darah akan menaikkan Hb 1 g%] paling baik darah segar atau PRC, dengan memonitor kemungkinan terjadinya overload karena pemberian transfusi darah dapat memperberat kerja jantung. Untuk mencegah overload, dapat diberikan furosemide 20 mg IV. Pasien dengan gagal ginjal hanya diberikan PRC. Volume transfusi dimasukkan sebagai input dalam catatan balans cairan.
3. Hypoglikemia (Gula darah < 40 mg %)
Sering terjadi pada penderita malaria berat terutama anak usia < 3 tahun, ibu hamil sebelum atau sesudah pemberian terapi kina (kina menyebabkan hiperinsulinemia), maupun penderita malaria berat lain dengan terapi kina. Penyebab lain diduga karena terjadi peningkatan uptake glukosa oleh parasit malaria.
Tindakan :
a. Berikan 10 ? 100 ml Glukosa 40 % IV secara injeksi bolus (anak-anak : 1 ml/Kg BB)
b. Infus glukosa 5 % atau 10 % perlahan-lahan untuk mencegah hipoglikemia berulang.
c. Monitoring teratur kadar gula darah setiap 4-6 jam.
Bila sarana pemeriksaan gula darah tidak tersedia, pengobatan sebaiknya diberikan berdasarkan kecurigaan klinis adanya hipoglikemia.
4. Kolaps sirkulasi, syok hipovolume, hipotensi, ?Algid malaria? dan septikaemia
Sering terlihat pada pasien-pasien dengan :
Dehidrasi dengan hipovolemia (akibat muntah-muntah dan intake cairan kurang)
Pasien dengan diare dan peripheral circulatory failure (algid malaria)
Perdarahan masif GI tract
Mengikuti ruptur limpa
Dengan komplikasi septikaemia gram negative
Kolaps sirkulasi lebih lanjut berakibat komplikasi asidosis metabolik, respiratory distress dan gangguan fungsi / kerusakan jaringan.
Gejala : hipotensi dengan tekanan sistolik < 70 mm Hg pada orang dewasa dan < 50 mm Hg pada anak-anak, konstriksi vena perifer.
Gejala khas : kulit dingin, suhu 38-40 oC, mata cekung, cianosis pada bibir dan kuku, nafas cepat, nadi cepat dan dangkal, nyeri ulu hati, dapat disertai mual/muntah, diare berat.
Tindakan :
Koreksi hipovolemia dengan pemberian cairan yang tepat (NaCL 0,9 %, ringer laktat, dextrose 5 % in saline), plasma expander (darah segar, plasma, haemacell atau bila tidak tersedia dengan dextran 70) dalam waktu 1/2 - 1 jam pertama 500 ml, bila tidak ada perbaikan tensi dan tidak ada overhidrasi, beri 1000 ml, tetes diperlambat dan diulang bila dianggap perlu.
Bila memungkinkan, monitor dengan CVP ( tekanan dipelihara antara 0 s/d +5 cm)
Bila terjadi hipovolemia menetap, diberikan Dopamin dengan dosis inisial 2 ug/Kg/menit yang dilarutkan dalam dextrose 5 %. [pada hipovolemia kontra indikasi untuk pemberian inotropik karena tidak akan menaikkan TD malah menimbulkan takikardi yang justru akan merugikan. Bila hipovolemia sudah teratasi tapi TD belum naik, kemungkinan kontraktilitas miokard yang jelek ? diperbaiki dengan pemberian Dobutamin, bukan Dopamin, dengan dosis sampai 20 µg/kg BB/m] dosis dinaikkan secara hati-hati sampai tekanan sistolik mencapai 80-90 mm Hg.
Periksa kadar gula darah untuk menyingkirkan kemungkinan hipoglokemia.
Buat kultur darah dan resistensi test. Mulai segera pemberian antibiotik broad spektrum, misal : generasi ketiga sefalosporin bila tersedia, yang dapat dikombinasi dengan aminoglikosida bila fungsi renal sudah dipastikan baik (periksa juga ureum & kreatinin darah)
Apabila CVP tidak mungkin dilakukan, monitoring dan pencatatan balas cairan secara akurat sangat membantu agar tidak terjadi overhidrasi.
Pada Anak-anak :
Lakukan Rehidrasi (Pemberian cairan infus), larutan dektrosa 5 % atau 10 % atau NaCL 0,9 %, Dosis 1 jam pertama, 30 ml/kgBB atau 10 x kgBB per tetes/menit. Misalnya : anak dengan BB 10 kg = 10 x 10 tetes/menit, dilanjutkan 20 ml/kgBB (23Jam sisa), atau 7 tetes x kgBB/menit, dilanjutkan pemberian maintenace 10 ml/kgBB/hari atau 3 tetes/kgBB/menit
Awasi nadi, tensi dan pernafasan setiap 30 menit.
5. Gagal ginjal akut (acute renal failure / ARF )
Terjadi sebagai akibat hipovolemia atau ischemik sehingga terjadi gangguan mikrosirkulasi ginjal yang menurunkan filtrasi glomerulus. Paling sering terjadi gagal ginjal pre-renal akibat dehidrasi diatas (>50 %), sedangkan gagal ginjal renal akibat tubuler nekrosis akut hanya terjadi pada 5-10 % penderita. Namun ARF sering terdeteksi terlambat setelah pasien sudah mengalami overload (dekompensasi kordis) akibat rehidrasi yang berlebihan (overhidrasi) pada penderita dengan oliguria/anuria, dan karena tidak tercatatnya balans cairan secara akurat.
Pada pasien severe falciparum malaria, bila memungkinkan sebaiknya kadar serum kreatinin diperiksa 2-3 x/minggu.
Bila terjadi oliguria (volume urin < 400 ml/24 jam atau < 20 ml/jam pada dewasa atau < 0,5 ml/Kg BB/jam pada anak-anak setelah diobservasi/diukur selama 4-6 jam) disertai tanda klinik dehidrasi maka berikan cairan untuk rehidrasi dengan terus berhati-hati/ mengawasi apakah ada tanda-tanda overload.
Untuk itu awasi semua tanda-tanda vital, monitoring balans cairan, pemeriksaan auskultasi paru, jugular venous pressure (JVP) dan central venous pressure (CVP) bila tersedia dan observasi volume urin.
Bila terjadi anuria. Berikan diuretik : Furosemid inisial 40 mg IV, observasi urin output. Bila tidak ada respon, dosis furosemid ditingkatkan progresif sampai maksimum 200 mg [dosis furosemid: 10-30 mg/jam] dengan interval 30 menit. Bila masih tidak respon (urin output ( - ) atau < 120 ml/2jam) periksa kadar ureum & kreatinin serum karena mungkin telah terjadi ARF.
Persiapkan penderita untuk dialisis atau rujuk ke RS dengan fasilitas dialisis bila terjadi ARF. ARF biasanya reversibel apabila ditanggulangi secara cepat dan tepat.
ARF yang disertai tanda-tanda overload (dekompensasi jantung) sangat berbahaya bila tidak ditanggulangi secara cepat.
Tanda-tanda overload dari ringan sampai berat berupa : batuk-batuk, tensi meningkat/sedikit meningkat, nadi cepat, auskultasi paru ada ronki basah di basal bilateral paru, auskultasi jantung mungkin terdengar bunyi jantung tambahan (bunyi ke 3) dan JVP meningkat, serta pasien terlihat agak sesak sampai sesak nafas berat.
Bila ada tanda-tanda overload, segera hentikan pemberian cairan.
Rencanakan dialisis dengan ultrafiltrasi atau peritoneal dialisis, atau rujuk ke RS dengan fasilitas dialisis.
Periksa juga kadar elektrolit darah dan EKG bila tersedia untuk mencari terjadinya hiperkalemia, asidosis metabolik serta gangguan keseimbangan asam-basa.
Catatan :
Normal kadar ureum darah : 20 - 40 mg/dl, kreatinin N : 0,8 ? 1,1 mg/dl.
Indikasi dialisis :
Klinik :
Tanda-tanda uremik
Tanda-tanda volume overload
Pericardial friction rub
Pernafasan asidosis setelah rehidrasi
Indikasi laboratorium :
Hiperkalemia (K > 6,5 mEq/L, hiperkalemia dapat juga didiagnosis melalui EKG)
Peningkatan ureum dengan uremic syndrome.
6. Perdarahan & gangguan pembekuan darah (coagulopathy)
Perdarahan dan koagulopathi jarang ditemukan di daerah endemis pada negara-negara tropis. Sering terjadi pada penderita yang non-imun terhadap malaria. Biasanya terjadi akibat trombositopenia berat ditandai manifestasi perdarahan pada kulit berupa petekie, purpura, hematom atau perdarahan pada hidung, gusi dan saluran pencernaan.
Gangguan koagulasi intra vaskuler jarang terjadi.
Tindakan :
Beri vitamin K injeksi dengan dosis 10 mg intravena bila protrombin time atau partial tromboplastin time memanjang.
Periksa Hb : bila < 5 gr% direncanakan transfusi darah, 10 ? 20 ml /kgBB
Hindarkan pemberian korttikosteroid untuk trombositopenia.
Perbaiki keadaan gizi penderita.
7. Edema paru
Edem paru sering timbul belakangan dibanding komplikasi akut lainnya.
Edema paru terjadi akibat :
ARDS (Adult respiratory distress syndrome) [tanda-tanda ARDS: timbul akut, ada gambaran bercak putih pada foto toraks di kedua paru, rasio PaO2:FiO2 < 200, tidak ada gejala gagal jantung kiri]
Over hidrasi akibat pemberian cairan.
ARDS terjadi secara tidak langsung karena peningkatan permeabilitas kapiler di paru.
ARDS dan overload cairan, keduanya dapat terjadi sendiri-sendiri atau bersamaan.
Bentuk klinik ARDS : - Takipnoe (nafas cepat) pada fase awal
- Pernafasan dalam
- Sputum : ada darah dan berbusa.
- X-ray : ada bayangan pada kedua sisi paru dan hipoksaemia.
Perbedaan ARDS dengan fluid overload :
ARDS Fluid overload
Balans cairan Normal Input > output
CVP Normal Meninggi
Tekanan A. Pulmonal Normal Meninggi
JVP Normal Meninggi
Tindakan :
Bila ada tanda udema paru akut penderita segera dirujuk, dan sebelumnya dilakukan tindakan sebagai berikut :
1. Akibat ARDS
a. Pemberian oksigen
b. PEEP (positive end-respiratory pressure) bila tersedia.
2. Akibat over hidrasi :
- Pembatasan pemberian cairan
- Pemberian furosemid 40 mg i.v bila perlu diulang 1 jam kemudian atau dosis ditingkatkan sampai 200 mg (maksimum) sambil memonitor urin output dan tanda-tanda vital.
- Rujuk segera bila overload tidak dapat diatasi.
- Untuk kondisi mendesak (pasien kritis) dimana pernafasan sangat sesak, dan tidak cukup waktu untuk merujuk pasien, lakukan :
? Posisi pasien ½ duduk.
? Venaseksi, keluarkan darah pasien kedalam kantong transfusi/donor sebanyak 250-500 ml akan sangat membantu mengurangi sesaknya. Apabila kondisi pasien sudah normal, darah tersebut dapat dikembalikan ketubuh pasien.
8. Jaundice ( bilirubin > 3 mg%)
Manifestasi ikterus pada malaria berat sering dijumpai di Asia dan Indonesia yang mempunyai prognosis jelek.
Tindakan :
1. Tidak ada terapi khusus untuk jaundice. Bila ditemukan hemolisis berat dan Hb sangat menurun maka beri transfusi darah.
2. Bila fasilitas tidak memadai penderita sebaiknya segera di rujuk.
9. Asidosis metabolik
Asidosis dalam malaria dihasilkan dari banyak proses yang berbeda, termasuk diantaranya : obstruksi mikrosirkulasi, disfungsi renal, peningkatan glikolisis, anemia, hipoksia, dan lain-lain. Oleh karena itu asidosis metabolik sering ditemukan bersamaan dengan komplikasi lain seperti : anemia berat, ARF, hipovolemia, udem paru dan hiperparasitemia yang ditandai dengan peningkatan respirasi (cepat dan dalam), penurunan PH dan bikarbonat darah. Penyebabnya karena hipoksia jaringan dan glikolisis anaerobik. Diagnosis dan manajemen yang terlambat akan mengakibatkan kematian.
Tindakan :
a. Lakukan pemeriksaan kadar Hb. Bila penyebabnya karena anemia berat (Hb < 5 g%), maka beri transfusi darah segar atau PRC.
b. Lakukan pemeriksaan analisa gas darah, bila pH < 7,15 lakukan koreksi dengan pemberian larutan natrium bikarbonat [hati-hati koreksi dengan bicarbonat dapat meningkatkan PaCO2] melalui IV-line (walau sebenarnya pemberian natrium bikarbonat masih kontroversial). Koreksi pH arterial harus dilakukan perlahan 1-2 jam
c. Bila sesak nafas, beri O2.
d. Bila tidak tersedia fasilitas yang memadai sebaiknya penderita segera di rujuk
10. Blackwater fever (malarial haemoglobinuria)
Pasien dengan defisiensi G-6-PD dapat terjadi hemolisis intravascular dan hemoglobinuria yang dipresipitasi oleh primakuin dan obat-obat oksidan yang dipakai sebelum terkena malaria. Hemoglobinuria dihasilkan dari masifnya hemolisis. Tidak berhubungan dengan disfungsi renal secara signifikan. Blackwater biasanya sementara dan dapat berubah tanpa komplikasi. Namun dapat juga menjadi gagal ginjal akut dalam kasus-kasus yang berat.
Tindakan :
? Berikan cairan rehidrasi, monitor CVP.
? Bila Ht < 20 %, beri transfusi darah
? Lanjutkan pemberian kemoterapi anti malaria.
? Bila berkembang menjadi ARF, rujuk ke rumah sakit dengan fasilitas hemodialisis.
11. Hiperparasitemia.
Umumnya pada penderita yang non-imun, densitas parasit > 5 % dan adanya skizontaemia sering berhubungan dengan malaria berat. Tetapi di daerah endemik tinggi, sebagian anak-anak imun dapat mentoleransi densitas parasit tinggi (20-30 %) sering tanpa gejala.
Penderita dengan parasitemia tinggi akan meningkatkan resiko terjadinya komplikasi berat.
Tindakan :
1. Segera berikan kemoterapi anti malaria inisial.
2. Awasi respon pengobatan dengan memeriksa ulang parasitemianya.
3. Indikasi transfusi tukar (Exchange Blood Transfusion/EBT) adalah :
? Parasitemia > 30 % tanpa komplikasi berat
? Parasitemia > 10 % disertai komplikasi berat lainnya seperti : serebral malaria, ARF, ARDS, jaundice dan anemia berat.
? Parasitemia > 10 % dengan gagal pengobatan setelah 12-24 jam pemberian kemoterapi anti malaria yang optimal.
? Parasitemia > 10 % disertai prognosis buruk (misal : lanjut usia, adanya late stage parasites/skizon pada darah perifer)
4. Pastikan darah transfusi bebas infeksi (malaria, HIV, Hepatitis)
V. PENGOBATAN PENCEGAHAN (KEMOPROFILAKSIS)
Obat yang dipakai untuk tujuan ini pada umumnya bekerja terutama pada tingkat eritrositer, hanya sedikit yang berefek pada tingkat eksoeritrositer (hati). Obat harus digunakan terus-menerus mulai minimal 1 ? 2 minggu sebelum berangkat sampai 4 ? 6 minggu setelah keluar dari daerah endemis malaria.
OAM yang dipakai dalam kebijakan pengobatan di Indonesia adalah :
Klorokuin : banyak digunakan karena murah, tersedia secara luas, dan relatif aman untuk anak-anak, ibu hamil maupun ibu menyusui. Pada dosis pencegahan obat ini aman digunakan untuk jangka waktu 2-3 tahun. Efek samping : gangguan GI Tract seperti mual, muntah, sakit perut dan diare. Efek samping ini dapat dikurangi dengan meminum obat sesudah makan.
Pencegahan pada anak :
OAM yang paling aman untuk anak kecil adalah klorokuin. Dosis : 5 mg/KgBB/minggu. Dalam bentuk sediaan tablet rasanya pahit sehingga sebaiknya dicampur dengan makanan atau minuman, dapat juga dipilih yang berbentuk suspensi.
Untuk mencegah gigitan nyamuk sebaiknya memakai kelambu pada waktu tidur.
Obat pengusir nyamuk bentuk repellant yang mengandung DEET sebaiknya tidak digunakan untuk anak berumur < 2 tahun.
Pencegahan perorangan
Dipakai oleh masing-masing individu yang memerlukan pencegahan terhadap penyakit malaria. Obat yang dipakai : Klorokuin.
Cara pengobatannya :
- Bagi pendatang sementara :
Klorokuin diminum 1 minggu sebelum tiba di daerah malaria, selama berada di daerah malaria dan dilanjutkan selama 4 minggu setelah meninggalkan daerah malaria.
- Bagi penduduk setempat dan pendatang yang akan menetap :
Pemakaian klorokuin seminggu sekali sampai lebih dari 6 tahun dapat dilakukan tanpa efek samping. Bila transmisi di daerah tersebut hebat sekali atau selama musim penularan, obat diminum 2 kali seminggu. Penggunaan 2 kali seminggu dianjurkan hanya untuk 3 ? 6 bulan saja.
Dosis pengobatan pencegahan : Klorokuin 5 mg/KgBB atau 2 tablet untuk dewasa.
Lihat tabel berikut :
Golongan umur (tahun) Jumlah tablet klorokuin (dosis tunggal)
( frekuensi 1 x seminggu )
0 ? 1 ¼
1 ? 4 ½
5 ? 9 1
10 ? 14 1 ½
> 15 2
Pencegahan kelompok
Ditujukan pada sekelompok penduduk, khususnya pendatang non-imun yang sedang berada di daerah endemis malaria. Pencegahan kelompok memerlukan pengawasan yang lebih baik. Obat diberikan melalui unit pelayanan kesehatan, pos-pos pengobatan malaria yang dibentuk sendiri oleh penduduk di wilayah tersebut, atau melalui pos obat desa (POD) yang di dalmnya menyediakan obat-obatan lain selain obat anti malaria.
Dosis dan cara pengobatan sama seperti pengobatan pencegahan perorangan.
VI. PROGNOSIS
1. Prognosis malaria berat tergantung kecepatan diagnosa dan ketepatan & kecepatan pengobatan.
2. Pada malaria berat yang tidak ditanggulangi, maka mortalitas yang dilaporkan pada anak-anak 15 %, dewasa 20 %, dan pada kehamilan meningkat sampai 50 %.
3. Prognosis malaria berat dengan kegagalan satu fungsi organ lebih baik daripada kegagalan 2 fungsi organ
? Mortalitas dengan kegagalan 3 fungsi organ, adalah > 50 %
? Mortalitas dengan kegagalan 4 atau lebih fungsi organ, adalah > 75 %
? Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan klinis malaria berat yaitu:
? Kepadatan parasit < 100.000, maka mortalitas < 1 %
? Kepadatan parasit > 100.000, maka mortalitas > 1 %
? Kepadatan parasit > 500.000, maka mortalitas > 50 %
VI. RUJUKAN PENDERITA
Semua penderita malaria berat dirujuk / ditangani RS Kabupaten.
Apabila penderita tidak bersedia dirujuk dapat dirawat di puskesmas rawat inap dengan
konsultasi kepada dokter RS Kabupaten.
Bila perlu RS kabupaten dapat pula merujuk kepada RS Propinsi.
Cara merujuk :
1) Setiap merujuk penderita harus disertakan surat rujukan yang berisi tentang diagnosa, riwayat penyakit, pemeriksaan yang telah dilakukan dan tindakan yang sudah diberikan.
2) Apabila dibuat preparat SD malaria, harus diikutsertakan.
Kriteria penderita malaria yang dirawat inap :
Bila salah satu atau lebih dari gejala dibawah ini :
1. Malaria dengan komplikasi
2. Malaria congenital pada bayi
3. Hiperparasitemia. (Parasitemia > 5 %)
sumber: infeksi.com
Saturday, March 8, 2008
Dunia Kesehatan : perawatan payudara selama kehamilan
http://health-solution-center.blogspot.com/
Beberapa tips perawatan payudara selama kehamilan:
* Bila BH anda sudah mulai terasa sempit, sebaiknya mengantinya dengan bh yang pas dan sesuai dengan ukuran anda untuk memberikan kenyamanan dan juga support yang baik untuk payudara anda.
* Bila anda berencana untuk menyusui anda dapat memulai menggunakan bh untuk menyusui pada akhir kehamilan anda. Pilihlah bh yang ukurannya sesuai dengan payudara anda, memakai bh yang mempunyai ukuran yang tidak sesuai dengan ukuran ayudara dapat menyebabkan infeksi seperti mastitis ( suatu infeksi pada kelenjar susu di payudara).
* Persiapkan putting susu anda. Dengan lembut putar putting antara telunjuk dan ibu jari anda sekitar 10 detik sewaktu anda mandi. Jika anda mendapatkan kesulitan atau puting susu anda rata atau masuk kedalam, konsultasikan ke dokter anda, sehingga hal ini dapat diatasi dini untuk mencegah kesulitan nantinya.
* Pada tahap akhir bulan kehamilan, cobalah untuk memijat lembut payudara didaerah yang berwarna gelap (aerola) dan puting susu, anda mungkin akan mengeluarkan beberapa tetes kolustrum (cairan kental bewarna kekuningan dari putting). Untuk membantu membuka saluran susu.
* Bersihkan payudara dan puting, jangan mengunakan sabun didaerah putting dapat menyebabkan daerah tersebut kering. Gunakan air saja lalu keringkan dengan handuk.
Beberapa tips perawatan payudara selama kehamilan:
* Bila BH anda sudah mulai terasa sempit, sebaiknya mengantinya dengan bh yang pas dan sesuai dengan ukuran anda untuk memberikan kenyamanan dan juga support yang baik untuk payudara anda.
* Bila anda berencana untuk menyusui anda dapat memulai menggunakan bh untuk menyusui pada akhir kehamilan anda. Pilihlah bh yang ukurannya sesuai dengan payudara anda, memakai bh yang mempunyai ukuran yang tidak sesuai dengan ukuran ayudara dapat menyebabkan infeksi seperti mastitis ( suatu infeksi pada kelenjar susu di payudara).
* Persiapkan putting susu anda. Dengan lembut putar putting antara telunjuk dan ibu jari anda sekitar 10 detik sewaktu anda mandi. Jika anda mendapatkan kesulitan atau puting susu anda rata atau masuk kedalam, konsultasikan ke dokter anda, sehingga hal ini dapat diatasi dini untuk mencegah kesulitan nantinya.
* Pada tahap akhir bulan kehamilan, cobalah untuk memijat lembut payudara didaerah yang berwarna gelap (aerola) dan puting susu, anda mungkin akan mengeluarkan beberapa tetes kolustrum (cairan kental bewarna kekuningan dari putting). Untuk membantu membuka saluran susu.
* Bersihkan payudara dan puting, jangan mengunakan sabun didaerah putting dapat menyebabkan daerah tersebut kering. Gunakan air saja lalu keringkan dengan handuk.
Dunia Kesehatan : Makan Yang Baik Selama Kehamilan
http://health-solution-center.blogspot.com/
Beberapa Prinsip Makan Yang Baik Selama Kehamilan
RUBAHLAH CARA MAKAN ANDA, MESKIPUN ANDA SUDAH MAKAN DENGAN BAIK.
Anda sekarang sedang hamil maka diet makanan anda harus mengikuti diet makan untuk ibu hamil. Pada kehamilan anda membutuhkan lebih banyak konsumsi protein, kalori (untuk energi), vitamin dan mineral seperti asam folat dan zat besi untuk perkembangan bayi anda juga. Ingat anda membutuhkan tambahan 300 kalori perhari.
HINDARI MAKANAN YANG DAPAT MEMBAHAYAKAN IBU DAN JANIN
Daging dan telur mentah, keju lunak, susu yang tidak dipasteriusasi, alcohol, juga cafein.
(Baca juga: Makanan Apa Yang Harus Di Hindari Selama Kehamilan? )
JANGAN DIET SELAMA KEHAMILAN
Kehamilan bukan masa yang tepat untuk Diet anda hanya akan membahayakan ibu dan bayi. Diet selama hamil akan menyebabkan kurang vitamin, mineral dan lain-lain yang penting selama kehamilan. Pertambahan berat badan pada kehamilan merupakan salah satu tanda yang baik pada kehamilan yang sehat. Ibu hamil yang makan dengan baik akan bertambah berat badannya secara bertahap, umumnya akan melahirkan bayi yang sehat.
MAKAN DENGAN PORSI KECIL TAPI SERING
Pada trimester pertama biasanya terdapat keluhan mual muntah(morning sickness), cobalah atasi dengan makan dengan porsi kecil tapi sering, hindari makanan pedas dan berminyak.
Makan dengan porsi yang kecil tapi dilakukan beberapa kali dianjurkan setiap 4 jam. Ingatlah meskipun anda tidak lapar tetapi bayi anda membutuhkan makanan/nutrisi secara teratur.
MINUM VITAMIN IBU HAMIL SECARA TERATUR
Makanan yang anda makan adalah sumber vitamin yang paling baik—tetapi apakah anda yakin diet makanan anda cukup mengandung vitamin yang dibutuhkan selama kehamilan, yang terutama zat besi dan asam folat yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan bayi sehat. Untuk itu anda sebaiknya meminum vitamin anda secara teratur.
MINUM AIR YANG CUKUP
8 gelas sehari. Karena anda butuh cairan yang cukup bagi anda dan juga bayi anda. 33 % pertambahan berat badan pada kehamilan adalah cairan. Cairan dibutuhkan untuk membangun sel darah merah bayi untuk system sirkulasinya, cairan ketuban. Tubuh anda juga perlu air selama kehamilan untuk mengatasi konstipasi dan mengatur suhu tubuh anda.
MAKANAN BERSERAT, BUAH-BUAHAN DAN SAYURAN
Perbanyaklah makan makanan yang berserat tinggi , buah-buahan dan sayuran dapat membantu mengatasi konstipasi anda selama kehamilan.
Dengan melakukan cara makan yang sehat, bukan hanya membuat ibu hamil fit dan sehat, tapi juga membantu perkembangan yang sehat bagi bayi anda
Ingatlah perkembangan bayi anda sangat tergantung dari apa yang anda berikan dan lakukan baginya.
Semoga informasi ini dapat membantu anda untuk melakukan cara dan diet makan yang lebih baik yang berguna untuk kesehatan ibu juga bayi selama kehamilan.
Beberapa Prinsip Makan Yang Baik Selama Kehamilan
RUBAHLAH CARA MAKAN ANDA, MESKIPUN ANDA SUDAH MAKAN DENGAN BAIK.
Anda sekarang sedang hamil maka diet makanan anda harus mengikuti diet makan untuk ibu hamil. Pada kehamilan anda membutuhkan lebih banyak konsumsi protein, kalori (untuk energi), vitamin dan mineral seperti asam folat dan zat besi untuk perkembangan bayi anda juga. Ingat anda membutuhkan tambahan 300 kalori perhari.
HINDARI MAKANAN YANG DAPAT MEMBAHAYAKAN IBU DAN JANIN
Daging dan telur mentah, keju lunak, susu yang tidak dipasteriusasi, alcohol, juga cafein.
(Baca juga: Makanan Apa Yang Harus Di Hindari Selama Kehamilan? )
JANGAN DIET SELAMA KEHAMILAN
Kehamilan bukan masa yang tepat untuk Diet anda hanya akan membahayakan ibu dan bayi. Diet selama hamil akan menyebabkan kurang vitamin, mineral dan lain-lain yang penting selama kehamilan. Pertambahan berat badan pada kehamilan merupakan salah satu tanda yang baik pada kehamilan yang sehat. Ibu hamil yang makan dengan baik akan bertambah berat badannya secara bertahap, umumnya akan melahirkan bayi yang sehat.
MAKAN DENGAN PORSI KECIL TAPI SERING
Pada trimester pertama biasanya terdapat keluhan mual muntah(morning sickness), cobalah atasi dengan makan dengan porsi kecil tapi sering, hindari makanan pedas dan berminyak.
Makan dengan porsi yang kecil tapi dilakukan beberapa kali dianjurkan setiap 4 jam. Ingatlah meskipun anda tidak lapar tetapi bayi anda membutuhkan makanan/nutrisi secara teratur.
MINUM VITAMIN IBU HAMIL SECARA TERATUR
Makanan yang anda makan adalah sumber vitamin yang paling baik—tetapi apakah anda yakin diet makanan anda cukup mengandung vitamin yang dibutuhkan selama kehamilan, yang terutama zat besi dan asam folat yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan bayi sehat. Untuk itu anda sebaiknya meminum vitamin anda secara teratur.
MINUM AIR YANG CUKUP
8 gelas sehari. Karena anda butuh cairan yang cukup bagi anda dan juga bayi anda. 33 % pertambahan berat badan pada kehamilan adalah cairan. Cairan dibutuhkan untuk membangun sel darah merah bayi untuk system sirkulasinya, cairan ketuban. Tubuh anda juga perlu air selama kehamilan untuk mengatasi konstipasi dan mengatur suhu tubuh anda.
MAKANAN BERSERAT, BUAH-BUAHAN DAN SAYURAN
Perbanyaklah makan makanan yang berserat tinggi , buah-buahan dan sayuran dapat membantu mengatasi konstipasi anda selama kehamilan.
Dengan melakukan cara makan yang sehat, bukan hanya membuat ibu hamil fit dan sehat, tapi juga membantu perkembangan yang sehat bagi bayi anda
Ingatlah perkembangan bayi anda sangat tergantung dari apa yang anda berikan dan lakukan baginya.
Semoga informasi ini dapat membantu anda untuk melakukan cara dan diet makan yang lebih baik yang berguna untuk kesehatan ibu juga bayi selama kehamilan.
Dunia Kesehatan : Air Susu Ibu (ASI)
http://health-solution-center.blogspot.com/
Air Susu Ibu (ASI) Memberi Keuntungan Ganda Untuk Ibu dan Bayi.
Keuntungan untuk bayi:
• ASI adalah makanan alamiah yang disediakan untuk bayi anda. Dengan komposisi nutrisi yang sesuai untuk perkembangan bayi sehat.
• ASI mudah dicerna oleh bayi.
• Jarang menyebabkan konstipasi.
• Nutrisi yang terkandung pada ASI sangat mudah diserap oleh bayi.
• ASI kaya akan antibody(zat kekebalan tubuh) yang membantu tubuh bayi untuk melawan infeksi dan penyakit lainnya..
• ASI dapat mencegah karies karena mengandung mineral selenium.
• Dari suatu penelitian di Denmark menemukan bahwa bayi yang diberikan ASI samapi lebih dari 9 bulan akan menjadi dewasa yang lebih cerdas. Hal ini diduga karena Asi mengandung DHA/AA.
• Bayi yang diberikan ASI eksklusif samapi 4 bln akan menurunkan resiko sakit jantung bila mereka dewasa.
• ASI juga menurunkan resiko diare, infeksi saluran nafas bagian bawah, infeksi saluran kencing, dan juga menurunkan resiko kematian bayi mendadak.
• Memberikan ASI juga membina ikatan kasih sayang antara ibu dan bayi.
ASI adalah makanan alamiah untuk bayi anda. ASI mengandung nutrisi-nutrisi dasar dan elemen, dengan jumlah yang sesuai, untuk pertumbuhan bayi yang sehat.
Memberikan ASI kepada bayi anda bukan saja memberikan kebaikan bagi bayi tapi juga keuntungan untuk ibu.
Keuntungan untuk ibu:
• Memberikan ASI segera setelah melahirkan akan meningkatkan kontraksi rahim, yang berarti mengurangi resiko perdarahan.
• Memberikan ASI juga membantu memperkecil ukuran rahim ke ukuran sebelum hamil.
• Menyusui (ASI) membakar kalori sehingga membantu penurunan berat badan lebih cepat.
• Beberapa ahli menyatakan bahwa terjadinya kanker payudara pada wanita menyusui sangat rendah.
Karena begitu besar manfaat dari ASI maka WHO dan UNICEF menganjurkan agar para ibu memberikan ASI EKSKLUSIF yaitu hanya memberikan ASI saja tanpa makanan pendamping hingga bayi berusia 6 bulan.
Begitu banyak keuntungan yang diberikan Air Susu Ibu baik untuk ibu maupun bayi. Berikanlah Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi anda sebagai hadiah terindah dalam menyambut kelahirannya.
Air Susu Ibu (ASI) Memberi Keuntungan Ganda Untuk Ibu dan Bayi.
Keuntungan untuk bayi:
• ASI adalah makanan alamiah yang disediakan untuk bayi anda. Dengan komposisi nutrisi yang sesuai untuk perkembangan bayi sehat.
• ASI mudah dicerna oleh bayi.
• Jarang menyebabkan konstipasi.
• Nutrisi yang terkandung pada ASI sangat mudah diserap oleh bayi.
• ASI kaya akan antibody(zat kekebalan tubuh) yang membantu tubuh bayi untuk melawan infeksi dan penyakit lainnya..
• ASI dapat mencegah karies karena mengandung mineral selenium.
• Dari suatu penelitian di Denmark menemukan bahwa bayi yang diberikan ASI samapi lebih dari 9 bulan akan menjadi dewasa yang lebih cerdas. Hal ini diduga karena Asi mengandung DHA/AA.
• Bayi yang diberikan ASI eksklusif samapi 4 bln akan menurunkan resiko sakit jantung bila mereka dewasa.
• ASI juga menurunkan resiko diare, infeksi saluran nafas bagian bawah, infeksi saluran kencing, dan juga menurunkan resiko kematian bayi mendadak.
• Memberikan ASI juga membina ikatan kasih sayang antara ibu dan bayi.
ASI adalah makanan alamiah untuk bayi anda. ASI mengandung nutrisi-nutrisi dasar dan elemen, dengan jumlah yang sesuai, untuk pertumbuhan bayi yang sehat.
Memberikan ASI kepada bayi anda bukan saja memberikan kebaikan bagi bayi tapi juga keuntungan untuk ibu.
Keuntungan untuk ibu:
• Memberikan ASI segera setelah melahirkan akan meningkatkan kontraksi rahim, yang berarti mengurangi resiko perdarahan.
• Memberikan ASI juga membantu memperkecil ukuran rahim ke ukuran sebelum hamil.
• Menyusui (ASI) membakar kalori sehingga membantu penurunan berat badan lebih cepat.
• Beberapa ahli menyatakan bahwa terjadinya kanker payudara pada wanita menyusui sangat rendah.
Karena begitu besar manfaat dari ASI maka WHO dan UNICEF menganjurkan agar para ibu memberikan ASI EKSKLUSIF yaitu hanya memberikan ASI saja tanpa makanan pendamping hingga bayi berusia 6 bulan.
Begitu banyak keuntungan yang diberikan Air Susu Ibu baik untuk ibu maupun bayi. Berikanlah Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi anda sebagai hadiah terindah dalam menyambut kelahirannya.
Dunia Kesehatan : Ciri-Ciri Hamil
http://health-solution-center.blogspot.com/
Beberapa gejala-gejala HAMIL dini yang terjadi pada kehamilan:
• Tidak mendapat haid/menstruasi. Hal ini karena dinding rahim dipersiapkan untuk kehamilan. Penting untuk mengetahui hari pertama haid terakhir, yang dapat menentukan usia kehamilan dan perkiraan persalinan. Perlu di ingat bahwa tidak mendapat haid selain sebagai tanda awal kehamilan juga dapat disebabkan hal lain.
• Mual dan muntah. Terjadi karena adanya perubahan hormonal. Di kenal sebagai “morning sickness” karena mual dan muntah sering terjadi pada pagi hari pada bulan-bulan pertama kehamilan.
• Sering kencing/buang air kecil. Terjadi karena kandung kencing tertekan oleh rahim yang membesar. Keluhan biasanya akan berkurang pada kehamilan setelah 12 minggu dan timbul kembali setelah kehamilan 28 minggu.
• Mengidam. Menginginkan makanan2 tertentu , terjadi pada bulan-bulan pertama.
• Tanda lainnya, seperti pembesaran payudara kencang, puting membesar, berwarna lebih gelap kadang-kadang terasa gatal dan sakit.
Setiap wanita mempunyai gejala yang bervariasi ada yang ringan, berat tapi ada pula yang tidak mempunyai keluhan. Bila gejala-gejala diatas belum terdapat pada anda, maka anda dapat memastikan dengan test lainnya, karena setiap ibu hamil mempunyai keluhan dan gejala yang berlainan.
Untuk memastikan kehamilan anda, maka anda dapat melakukan tes urin. Alat untuk test urin dapat anda temukan di apotik dan anda dapat melakukan tes ini sendiri dirumah.
Pada pemeriksaan dengan test urin adalah mengukur kadar HCG (human chorionic gonadotropin) yaitu hormone yang dihasilkan plasenta dan akan meningkat dalam urin dan darah selama minggu pertama setelah konsepsi.
Dalam menggunakan tes ini perhatikan instruksi yang ada, dan paling akurat dilakukan pada pagi hari, karena hormone ini meningkat jumlahnya pada pagi hari.
Beberapa gejala-gejala HAMIL dini yang terjadi pada kehamilan:
• Tidak mendapat haid/menstruasi. Hal ini karena dinding rahim dipersiapkan untuk kehamilan. Penting untuk mengetahui hari pertama haid terakhir, yang dapat menentukan usia kehamilan dan perkiraan persalinan. Perlu di ingat bahwa tidak mendapat haid selain sebagai tanda awal kehamilan juga dapat disebabkan hal lain.
• Mual dan muntah. Terjadi karena adanya perubahan hormonal. Di kenal sebagai “morning sickness” karena mual dan muntah sering terjadi pada pagi hari pada bulan-bulan pertama kehamilan.
• Sering kencing/buang air kecil. Terjadi karena kandung kencing tertekan oleh rahim yang membesar. Keluhan biasanya akan berkurang pada kehamilan setelah 12 minggu dan timbul kembali setelah kehamilan 28 minggu.
• Mengidam. Menginginkan makanan2 tertentu , terjadi pada bulan-bulan pertama.
• Tanda lainnya, seperti pembesaran payudara kencang, puting membesar, berwarna lebih gelap kadang-kadang terasa gatal dan sakit.
Setiap wanita mempunyai gejala yang bervariasi ada yang ringan, berat tapi ada pula yang tidak mempunyai keluhan. Bila gejala-gejala diatas belum terdapat pada anda, maka anda dapat memastikan dengan test lainnya, karena setiap ibu hamil mempunyai keluhan dan gejala yang berlainan.
Untuk memastikan kehamilan anda, maka anda dapat melakukan tes urin. Alat untuk test urin dapat anda temukan di apotik dan anda dapat melakukan tes ini sendiri dirumah.
Pada pemeriksaan dengan test urin adalah mengukur kadar HCG (human chorionic gonadotropin) yaitu hormone yang dihasilkan plasenta dan akan meningkat dalam urin dan darah selama minggu pertama setelah konsepsi.
Dalam menggunakan tes ini perhatikan instruksi yang ada, dan paling akurat dilakukan pada pagi hari, karena hormone ini meningkat jumlahnya pada pagi hari.
Dunia Kesehatan : HIV
Mengenali AIDS
Sama seperti penyakit lainnya AIDS dapat dikenali
dengan tanda-tanda klinis yang muncul dan ditambah
pemeriksaan laboratorium.
Pada fase AIDS tanda-tanda atau gejala yang muncul
dapat berupa, Sariawan, Batuk lama, Diare lama
Penurunan Berat Badan, Pembesaran Kelenjar Limfe
serta kelainan kulit.
Perhatikan pula faktor perilaku beresiko yang dapat di
ketahui dengan tanya jawab (anamnesa) dengan penderita yang sudah terbuka dengan dokter.
Sampai saat ini diperkirakan terdapat sekitar 28 juta orang lebih yang terinfeksi HIV
di seluruh dunia
HIV pertama kali dilaporkan di Amerika Serikat, tapi sekarang jumlah terbanyak infeksi
HIV terdapat di Afrika, dimasa yang akan datang diperkirakan 90 % kasus infeksi
HIV akan terdapat di negara sedang berkembang.
Untuk Indonesia sendiri diperkirakan orang yang terinfeksi HIV mencapai 100.000 sam
Anti HIV
masih terus dicari
pai 200.000 orang yang dari tahun ke tahun akan terus
bertambah.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium yang paling umum dilakukan sebagai skrining pertama kali kita
melakukan pemeriksaan Anti HIV yang relatif murah (merupakan pemeriksaan anti body)
Biasanya pemeriksaan ini dilakukan dengan metode ELISA.
Sampel yang dibutuhkan dapat berasal dari Air Liur, Darah, Urine dan Cairan Otak
Tes anti body HIV ini terbagi dua tahap, 1.tes Penyaring.
2.tes Konfirmasi.
Tes penyaringan dilakukan dengan metode Elisa dan tes konfirmasi dengan cara
Westren Blot.
Pada Hasil tes Penyaringan POSITIF mempunyai arti telah terinfeksi HIV atau POSITIF
PALSU artinya hasil tes penyaringan menyatakan positif tetapi sesungguhnya tidak ada
infeksi HIV.
Maka karena itu diperlukan TES KONFIRMASI, untuk memastikannya.
Tapi sebelum dilakukan tes Konfirmasi , biasanya kita masih melakukan tes penyaringan
satu kali lagi dengan metode yang lain.
Bila hasil tes Penyaringan yang kedua ini memberikan hasil POSITIF maka kita lanjutkan
dengan tes KONFIRMASI.(dengan metode Westren Blot)
Bila tes KONFIRMASI memberikan hasil POSITIF maka artinya adalah orang tersebut
HAMPIR PASTI TERINFEKSI oleh HIV.
Bila hasil tes Penyaringan kedua memberikan hasil NEGATIF maka artinya adalah orang
tersebut tidak terinfeksi HIV atau masih dalam masa jendela (artinya orang tersebut se
betulnya terinfeksi tapi pada tes masih negatif)
afromedicine/MQ/nusaindah.
Sama seperti penyakit lainnya AIDS dapat dikenali
dengan tanda-tanda klinis yang muncul dan ditambah
pemeriksaan laboratorium.
Pada fase AIDS tanda-tanda atau gejala yang muncul
dapat berupa, Sariawan, Batuk lama, Diare lama
Penurunan Berat Badan, Pembesaran Kelenjar Limfe
serta kelainan kulit.
Perhatikan pula faktor perilaku beresiko yang dapat di
ketahui dengan tanya jawab (anamnesa) dengan penderita yang sudah terbuka dengan dokter.
Sampai saat ini diperkirakan terdapat sekitar 28 juta orang lebih yang terinfeksi HIV
di seluruh dunia
HIV pertama kali dilaporkan di Amerika Serikat, tapi sekarang jumlah terbanyak infeksi
HIV terdapat di Afrika, dimasa yang akan datang diperkirakan 90 % kasus infeksi
HIV akan terdapat di negara sedang berkembang.
Untuk Indonesia sendiri diperkirakan orang yang terinfeksi HIV mencapai 100.000 sam
Anti HIV
masih terus dicari
pai 200.000 orang yang dari tahun ke tahun akan terus
bertambah.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium yang paling umum dilakukan sebagai skrining pertama kali kita
melakukan pemeriksaan Anti HIV yang relatif murah (merupakan pemeriksaan anti body)
Biasanya pemeriksaan ini dilakukan dengan metode ELISA.
Sampel yang dibutuhkan dapat berasal dari Air Liur, Darah, Urine dan Cairan Otak
Tes anti body HIV ini terbagi dua tahap, 1.tes Penyaring.
2.tes Konfirmasi.
Tes penyaringan dilakukan dengan metode Elisa dan tes konfirmasi dengan cara
Westren Blot.
Pada Hasil tes Penyaringan POSITIF mempunyai arti telah terinfeksi HIV atau POSITIF
PALSU artinya hasil tes penyaringan menyatakan positif tetapi sesungguhnya tidak ada
infeksi HIV.
Maka karena itu diperlukan TES KONFIRMASI, untuk memastikannya.
Tapi sebelum dilakukan tes Konfirmasi , biasanya kita masih melakukan tes penyaringan
satu kali lagi dengan metode yang lain.
Bila hasil tes Penyaringan yang kedua ini memberikan hasil POSITIF maka kita lanjutkan
dengan tes KONFIRMASI.(dengan metode Westren Blot)
Bila tes KONFIRMASI memberikan hasil POSITIF maka artinya adalah orang tersebut
HAMPIR PASTI TERINFEKSI oleh HIV.
Bila hasil tes Penyaringan kedua memberikan hasil NEGATIF maka artinya adalah orang
tersebut tidak terinfeksi HIV atau masih dalam masa jendela (artinya orang tersebut se
betulnya terinfeksi tapi pada tes masih negatif)
afromedicine/MQ/nusaindah.
HEPATITIS : HEPATITIS
http://health-solution-center.blogspot.com/
HEPATITIS
Pengobatan
Pengobatan Hepatitis dapat dibagi dua bagian , yang pertama dengan obat kimiawi yang bertujuan untuk mematikan virus Hepatitis
dan yang kedua adalah pengobatan suportif yang bertujuan untuk
melindungi sel hati dan membantu untuk memulihkan sel hati yang
rusak.
Pencegahan
Hepatitis B dapat di cegah dengan melakukan vaksinasi.
Vaksinasi Hepatitis B hanya mencegah Hepatitis B.
.
Hindari hal - hal berikut :
Menggunakan jarum suntik bekas
Jarum untuk akupunktur atau tattoo harus steril.
Hindari pemakaian bersama alat - alat seperti pisau cukur ,sisir.
Hindari aktivitas sex dengan berganti-ganti pasangan.
Hindari mendapat donor darah yang tidak resmi..
Selanjutnya hubungi konsultasi nusaindah atau
dokter pribadi anda.
Hepatitis adalah nama lain dari peradangan hati ,tepatnya pada sel
sel hati.
Peradangan ini paling sering disebabkan oleh virus ,walaupun dapat juga oleh sebab - sebab lain.
Sampai saat ini sudah dapat dideteksi ada tujuh macam virus Hepa
titis ( A ,B ,C ,D ,E ,F ,G ,TT ). Tapi virus yang sampai saat ini dike
tahui paling sering menyerang dan membuat kerusakan asel hati ada
lah virus Hepatitis A ,B dan C menjadi menetap dan serius.
Menurut penelitian virus Hepatitis pada pen
derita Hepatitis dapat ditemukan pada ca-
iran tubuh seperti air liur ,darah ,sperma.
Penularan terjadi dengan cara masuknya
virus dari cairan tubuh penderita ke orang
lain yang mempunyai luka terbuka dengan
cara bersentuhan
Gejala dari Hepatitis khususnya hepatitis B sangat beragam sekali
mulai dari penderita yang mengalami keluhan yang nyata sampai
yang tidak mengalami keluhan sama sekali.
Setelah menjadi kronis barulah gejalanya akan tampak semakin nya
ta dan jelas.
Gejalanya biasanya berupa Lemas -lemas seperti tak bertenaga atau lunglai ,mual ,kadang diare ,kuning.
HEPATITIS
Pengobatan
Pengobatan Hepatitis dapat dibagi dua bagian , yang pertama dengan obat kimiawi yang bertujuan untuk mematikan virus Hepatitis
dan yang kedua adalah pengobatan suportif yang bertujuan untuk
melindungi sel hati dan membantu untuk memulihkan sel hati yang
rusak.
Pencegahan
Hepatitis B dapat di cegah dengan melakukan vaksinasi.
Vaksinasi Hepatitis B hanya mencegah Hepatitis B.
.
Hindari hal - hal berikut :
Menggunakan jarum suntik bekas
Jarum untuk akupunktur atau tattoo harus steril.
Hindari pemakaian bersama alat - alat seperti pisau cukur ,sisir.
Hindari aktivitas sex dengan berganti-ganti pasangan.
Hindari mendapat donor darah yang tidak resmi..
Selanjutnya hubungi konsultasi nusaindah atau
dokter pribadi anda.
Hepatitis adalah nama lain dari peradangan hati ,tepatnya pada sel
sel hati.
Peradangan ini paling sering disebabkan oleh virus ,walaupun dapat juga oleh sebab - sebab lain.
Sampai saat ini sudah dapat dideteksi ada tujuh macam virus Hepa
titis ( A ,B ,C ,D ,E ,F ,G ,TT ). Tapi virus yang sampai saat ini dike
tahui paling sering menyerang dan membuat kerusakan asel hati ada
lah virus Hepatitis A ,B dan C menjadi menetap dan serius.
Menurut penelitian virus Hepatitis pada pen
derita Hepatitis dapat ditemukan pada ca-
iran tubuh seperti air liur ,darah ,sperma.
Penularan terjadi dengan cara masuknya
virus dari cairan tubuh penderita ke orang
lain yang mempunyai luka terbuka dengan
cara bersentuhan
Gejala dari Hepatitis khususnya hepatitis B sangat beragam sekali
mulai dari penderita yang mengalami keluhan yang nyata sampai
yang tidak mengalami keluhan sama sekali.
Setelah menjadi kronis barulah gejalanya akan tampak semakin nya
ta dan jelas.
Gejalanya biasanya berupa Lemas -lemas seperti tak bertenaga atau lunglai ,mual ,kadang diare ,kuning.
Subscribe to:
Posts (Atom)