http://health-solution-center.blogspot.com/
MALARIA
Penanganan MALARIA
Sejak tahun 1638 malaria telah diatasi dengan getah dari batang pohon cinchona, yang lebih dikenal dengan nama kina, yang sebenarnya beracun dan menekan pertumbuhan protozoa dalam jaringan darah. Pada tahun 1930, ahli obat-obatan Jerman berhasil menemukan Atabrine ( quinacrine hydrocloride ) yang pada saat itu lebih efektif daripada quinine dan kadar racunnya lebih rendah. Sejak akhir perang dunia kedua, klorokuin dianggap lebih mampu menangkal dan menyembuhkan demam rimba secara total, juga lebih efektif dalam menekan jenis-jenis malaria dibandingkan dengan Atabrine atau quinine. Obat tersebut juga mengandung kadar racun paling rendah daripada obat-obatan lain yang terdahulu dan terbukti efektif tanpa perlu digunakan secara terus menerus.
Namun baru-baru ini strain Plasmodium falciparum, organisme yang menyebabkan malaria tropika memperlihatkan adanya daya tahan terhadap klorokuin serta obat anti malaria sintetik lain. Strain jenis ini ditemukan terutama di Vietnam, dan juga di semenanjung Malaysia, Afrika dan Amerika Selatan. Kina juga semakin kurang efektif terhadap strain plasmodium falciparum. Seiring dengan munculnya strain parasit yang kebal terhadap obat-obatan tersebut, fakta bahwa beberapa jenis nyamuk pembawa (anopheles) telah memiliki daya tahan terhadap insektisida seperti DDT telah mengakibatkan peningkatan jumlah kasus penyakit malaria di beberapa negara tropis. Sebagai akibatnya, kasus penyakit malaria juga mengalami peningkatan pada para turis dari Amerika dan Eropa Barat yang datang ke Asia dan Amerika Tengah dan juga diantara pengungsi-pengungsi dari daerah tersebut. Para turis yang datang ke tempat yang dijangkiti oleh penyakit malaria yang tengah menyebar, dapat diberikan obat anti malaria seperti profilaksis (obat pencegah).
Obat-obat pencegah malaria seringkali tetap digunakan hingga beberapa minggu setelah kembali dari bepergian. Mefloquine telah dibuktikan efektif terhadap strain malaria yang kebal terhadap klorokuin, baik sebagai pengobatan ataupun sebagai pencegahan. Namun obat tersebut saat ini tengah diselidiki apakah dapat menimbulkan efek samping yang merugikan. Suatu kombinasi dari sulfadoxine dan pyrimethamine digunakan untuk pencegahan di daerah-daerah yang terjangkit malaria yang telah kebal terhadap klorokuin. Sementara Proguanil digunakan hanya sebagai pencegahan.
Saat ini para ahli masih tengah berusaha untuk menemukan vaksin untuk malaria. Beberapa vaksin yang dinilai memenuhi syarat kini tengah diuji coba klinis guna keamanan dan keefektifan dengan menggunakan sukarelawan, sementara ahli lainnya tengah berupaya untuk menemukan vaksin untuk penggunaan umum. Penyelidikan tengah dilakukan untuk menemukan sejumlah obat dengan bahan dasar artemisin, yang digunakan oleh ahli obat-obatan Cina untuk menyembuhkan demam. Bahan tersebut terbukti efektif terhadap Plasmodium falciparum namun masih sangat sulit untuk diperbanyak jumlahnya.
Malaria adalah penyakit yang dapat bersifat cepat maupun lama prosesnya, malaria disebabkan oleh parasit malaria / Protozoa genus Plasmodium bentuk aseksual yang masuk kedalam tubuh manusia ditularkan oleh nyamuk malaria ( anopeles ) betina ( WHO 1981 ) ditandai dengan deman, muka nampak pucat dan pembesaran organ tubuh manusia. Parasit malaria pada manusia yang menyebabkan Malaria adalah Plasmodium falciparum, plasmodium vivax, plasmodium ovale dan plasmodium malariae.Parasit malaria yang terbanyak di Indonesia adalah Plasmodium falciparum dan plasmodium vivax atau campuran keduanya, sedangkan palsmodium ovale dan malariae pernah ditemukan di Sulawesi, Irian Jaya dan negara Timor Leste. Proses penyebarannya adalah dimulai nyamuk malaria yang mengandung parasit malaria, menggigit manusia sampai pecahnya sizon darah atau timbulnya gejala demam. Proses penyebaran ini akan berbeda dari setiap jenis parasit malaria yaitu antara 9 ? 40 hari ( WHO 1997 )
Siklus parasit malaria adalah setelah nyamuk Anopheles yang mengandung parasit malaria menggigit manusia, maka keluar sporozoit dari kelenjar ludah nyamuk masuk kedalam darah dan jaringan hati. Parasit malaria pada siklus hidupnya, membentuk stadium sizon jaringan dalam sel hati ( ekso-eritrositer ). Setelah sel hati pecah akan keluar merozoit / kriptozoit yang masuk ke eritrosit membentuk stadium sizon dalam eritrosit ( stadium eritrositer ), mulai bentuk tropozoit muda sampai sison tua / matang sehingga eritrosit pecah dan keluar merosoit. Merosoit sebagian besar masuk kembali ke eritrosit dan sebagian kecil membentuk gametosit jantan dan betina yang siap untuk diisap oleh nyamuk malaria betina dan melanjutkan siklus hidup di tubuh nyamuk (stadium sporogoni). Pada lambung nyamuk terjadi perkawinan antara sel gamet jantan (mikro gamet) dan sel gamet betina (makro gamet) yang disebut zigot. Zigot akan berubah menjadi ookinet, kemudian masuk ke dinding lambung nyamuk berubah menjadi ookista. Setelah ookista matang kemudian pecah, maka keluar sporozoit dan masuk ke kelenjar liur nyamuk yang siap untuk ditularkan ke dalam tubuh manusia. Khusus P. Vivax dan P. Ovale pada siklus parasitnya di jaringan hati (sizon jaringan), sebagian parasit yang berada dalam sel hati tidak melanjutkan siklusnya ke sel eritrosit tetapi tertanam di jaringan hati disebut Hipnosoit (lihat bagan siklus), bentuk hipnosoit inilah yang menyebabkan malaria relapse. Pada penderita yang mengandung hipnosoit, apabila suatu saat dalam keadaan daya tahan tubuh menurun misalnya akibat terlalu lelah/sibuk/stres atau perobahan iklim (musim hujan), maka hipnosoit akan terangsang untuk melanjutkan siklus parasit dari dalam sel hati ke eritrosit. Setelah eritrosit yang berparasit pecah akan timbul gejala penyakitnya kembali. Misalnya 1 ? 2 tahun yang sebelumnya pernah menderita P. Vivax/Ovale dan sembuh setelah diobati, suatu saat dia pindah ke daerah bebas malaria dan tidak ada nyamuk malaria, dia mengalami kelelahan/stres, maka gejala malaria muncul kembali dan bila diperiksa SD-nya akan positif P. Vivax/Ovale.
Pada P. Falciparum dapat menyerang ke organ tubuh dan menimbulkan kerusakan seperti pada otak, ginjal, paru, hati dan jantung, yang mengakibatkan terjadinya malaria berat/komplikasi, sedangkan P. Vivax, P. Ovale dan P. Malariae tidak merusak organ tersebut. P. falciparum dalam jaringan yang mengandung parasit tua di dalam otak, peristiwa ini yang disebut sekuestrasi. Pada penderita malaria berat, sering tidak ditemukan plasmodium dalam darah tepi karena telah mengalami sekuestrasi. Meskipun angka kematian malaria serebral mencapai 20 ? 50 %, hampir semua penderita yang tertolong tidak menunjukkan gejala sisa neurologis (sekuele) pada orang dewasa. Malaria pada anak sebagian kecil dapat terjadi sekuele. Pada daerah hiperendemis atau immunitas tinggi apabila dilakukan pemeriksaan SD sering dijumpai SD positif tanpa gejala klinis pada lebih dari 60 % jumlah penduduk.
PENATALAKSANAAN MALARIA BERAT
Selalu lakukan pemeriksaan secara legaartis, yang tdd :
Anamnesis secara lengkap (allo dan/ auto anamnesis bila memungkinkan)
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratorium : parasitologi, darah tepi lengkap, uji fungsi hati, uji fungsi ginjal dan lain-lain untuk mendukung/menyingkirkan diagnosis/komplikasi lain, misal :: punksi lumbal, foto thoraks, dan lain-lain.
Penatalaksanaan malaria berat secara garis besar mempunyai 3 komponen penting yaitu :
Terapi spesifik dengan kemoterapi anti malaria.
Terapi supportif (termasuk perawatan umum dan pengobatan simptomatik)
Pengobatan terhadap komplikasi
Pada setiap penderita malaria berat, maka tindakan yang dilakukan di puskesmas sebelum dirujuk adalah :
A. Tindakan umum
B. Pengobatan simptomatik
C. Pemberian anti malaria pra rujukan : dosis I Kinin antipirin 10 mg/KgBB IM (dosis tunggal)
A. Tindakan umum ( di tingkat Puskesmas ) :
Persiapkan penderita malaria berat untuk dirujuk ke rumah sakit/fasilitas pelayanan yang lebih tinggi, dengan cara :
Jaga jalan nafas dan mulut untuk menghindari terjadinya asfiksia, bila diperlukan beri oksigen (O2)
Perbaiki keadaan umum penderita (beri cairan dan perawatan umum)
Monitoring tanda-tanda vital antara lain : keadaan umum, kesadaran, pernafasan, tekanan darah, suhu, dan nadi setiap 30 menit (selalu dicatat untuk mengetahui perkembangannya)
Untuk konfirmasi diagnosis, lakukan pemeriksaan SD tebal. Penilaian sesuai kriteria diagnostik mikroskopik.
Bila hipotensi, tidurkan dalam posisi Trendenlenburg dan diawasi terus tensi, warna kulit dan suhu, laporkan ke dokter segera.
Kasus dirujuk ke rumah sakit bila kondisi memburuk
Buat / isi status penderita yang berisi catatan mengenai : identitas penderita, riwayat perjalanan penyakit, riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium (bila tersedia), diagnosis kerja, diagnosis banding, tindakan & pengobatan yang telah diberikan, rencana tindakan/pengobatan, dan lain-lain yang dianggap perlu (misal : bila keluarga penderita menolak untuk dirujuk maka harus menandatangani surat pernyataan yang disediakan untuk itu). Catatan vital sign disatukan kedalam status penderita.
B. Pengobatan simptomatik :
Pemberian antipiretik untuk mencegah hipertermia : parasetamol 15 mg/KgBB/x, beri setiap 4 jam dan lakukan juga kompres hangat.
Bila kejang, beri antikonvulsan : Dewasa : Diazepam 5-10 mg IV (secara perlahan jangan lebih dari 5 mg/menit) ulang 15 menit kemudian bila masih kejang. Jangan diberikan lebih dari 100 mg/24 jam.
Bila tidak tersedia Diazepam, sebagai alternatif dapat dipakai Phenobarbital 100 mg IM/x
(dewasa) diberikan 2 x sehari.
C. Pemberian obat anti malaria spesifik :
Kina intra vena (injeksi) masih merupakan obat pilihan (drug of choice) untuk malaria berat. Kemasan garam Kina HCL 25 % injeksi, 1 ampul berisi 500 mg / 2 ml.
Pemberian anti malaria pra rujukan (di puskesmas) : apabila tidak memungkinkan pemberian kina perdrip maka dapat diberikan dosis I Kinin antipirin 10 mg/KgBB IM (dosis tunggal).
Cara pemberian :
Kina HCL 25 % (perdrip), dosis 10mg/Kg BB atau 1 ampul (isi 2 ml = 500 mg) dilarutkan dalam 500 ml dextrose 5 % atau dextrose in saline diberikan selama 8 jam dengan kecepatan konstan 2 ml/menit, diulang dengan cairan yang sama setiap 8 jam sampai penderita dapat minum obat.
Bila penderita sudah dapat minum, Kina IV diganti dengan Kina tablet / per oral dengan dosis 10 mg/Kg BB/ x dosis, pemberian 3 x sehari (dengan total dosis 7 hari dihitung sejak pemberian infus perdrip yang pertama).
Catatan :
Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena dapat menyebabkan kadar dalam plasma sangat tinggi dengan akibat toksisitas pada jantung dan kematian.
Bila karena berbagai alasan Kina tidak dapat diberikan melalui infus, maka dapat diberikan IM dengan dosis yang sama pada paha bagian depan masing-masing 1/2 dosis pada setiap paha (jangan diberikan pada bokong). Bila memungkinkan untuk pemakaian IM, kina diencerkan dengan normal saline untuk mendapatkan konsentrasi 60-100 mg/ml
Apabila tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian 48 jam kina parenteral, maka dosis maintenans kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya dan lakukan pemeriksaan parasitologi serta evaluasi klinik harus dilakukan.
Total dosis kina yang diperlukan :
Hari 0 : 30 mg/Kg BB
Hari I : 30 mg/Kg BB
Hari II dan berikutnya : 15-20 mg/Kg BB.
Dosis maksimum dewasa : 2.000 mg/hari.
Hindari sikap badan tegak pada pasien akut selama terapi kina untuk menghindari hipotensi postural berat.
Bila tidak memungkinkan dirujuk, maka penanganannya : lanjutkan penatalaksanaan sesuai protap umum Rumah Sakit (seperti telah diuraikan diatas), yaitu :
Pengobatan spesifik dengan obat anti malaria.
Pengobatan supportif/penunjang (termasuk perawatan umum dan pengobatan simptomatik)
Ditambah pengobatan terhadap komplikasi.
PENATALAKSANAAN KOMPLIKASI
1. Malaria cerebral
Didefinisikan sebagai unrousable coma pada malaria falsiparum, suatu perubahan sensorium yaitu manifestasi abnormal behaviour/kelakuan abnormal pada seorang penderita dari mulai yang paling ringan sampai koma yang dalam. Terbanyak bentuk yang berat.
Diantaranya berbagai tingkatan penurunan kesadaran berupa delirium, mengantuk, stupor, dan ketidak sadaran dengan respon motorik terhadap rangsang sakit yang dapat diobservasi/dinilai. Onset koma dapat bertahap setelah stadium inisial konfusi atau mendadak setelah serangan pertama. Tetapi ketidak sadaran post iktal jarang menetap setelah lebih dari 30-60 menit. Bila penyebab ketidaksadaran masih ragu-ragu, maka penyebab ensefalopahty lain yang lazim ditempat itu, seperti meningoensefalitis viral atau bakterial harus disingkirkan.
Manifestasi neurologis ( 1 atau beberapa manifestasi ) berikut ini bisa ada :
Ensefalopathy difus simetris.
Kejang umum atau fokal.
Tonus otot dapat meningkat atau turun.
Refleks tendon bervariasi.
Terdapat plantar fleksi atau plantar ekstensi.
Rahang mengatup rapat dan gigi kretekan (seperti mengasah).
Mulut mencebil (pouting) atau timbul refleks mencebil bila sisi mulut dipukul.
Motorik abnormal seperti deserebrasi rigidity dan dekortikasi rigidity.
Tanda-tanda neurologis fokal kadang-kadang ada.
Manifestasi okular : pandangan divergen (dysconjugate gaze) dan konvergensi spasme sering terjadi. Perdarahan sub konjunctive dan retina serta papil udem kadang terlihat.
Kekakuan leher ringan kadang ada. Tetapi tanda Frank (Frank sign) meningitis, Kernigs (+) dan photofobia jarang ada. Untuk itu adanya meningitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan punksi lumbal (LP).
Cairan serebrospinal (LCS) jernih, dengan < 10 lekosit/ml, protein sering naik ringan.
Di derah endemik malaria, semua kasus demam dengan perubahan sensorium harus diobati sebagai serebral malaria, sementara menyingkirkan meningoensefalitis yang biasa terjadi di tempat itu.
Prinsip penatalaksanaan :
Penatalaksanaan malaria serebral pada umumnya sama seperti pada malaria berat. Disamping pemberian obat anti malaria spesifik, beberapa hal penting perlu diperhatikan :
Perawatan pasien tidak sadar.
Pengobatan simptomatik : pengobatan hiperpireksia dan pengobatan yang cepat bila ada kejang. Cara pemberian anti piretik dan antikonvulsan seperti sudah dijelaskan diatas.
Deteksi dini & pengobatan komplikasi berat lainnya.
Hati-hati terhadap terjadinya infeksi bakteri terutama pada pasien-pasien dengan pemasangan IV-line, intubasi endotracheal atau kateter saluran kemih. Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya aspirasi pneumonia.
Perawatan pasien tidak sadar meliputi :
Buat grafik suhu, nadi dan pernafasan secara akurat.
Pasang IVFD. Untuk mencegah terjadinya trombophlebitis dan infeksi yang sering terjadi melalui IV-line maka IV-line sebaiknya diganti setiap 2-3 hari.
Pasang kateter urethra dengan drainase/ kantong tertutup. Pemasangan kateter dengan memperhatikan kaidah a/antisepsis.
Pasang nasogastric tube (maag slang) dan sedot isi lambung untuk mencegah aspirasi pneumonia.
Mata dilindungi dengan pelindung mata untuk menghindari ulkus kornea yang dapat terjadi karena tidak adanya refleks mengedip pada pasien tidak sadar.
Menjaga kebersihan mulut untuk mencegah infeksi kelenjar parotis karena kebersihan rongga mulut yang rendah pada pasien tidak sadar.
Ubah/balik posisi lateral secara teratur untuk mencegah luka dekubitus dan hypostatic pneumonia.
Hal-hal yang perlu dimonitor :
Tensi, nadi, suhu dan pernafasan setiap 30 menit.
Pemeriksaan derajat kesadaran dengan modifikasi Glasgow coma scale (GCS) setiap 6 jam.
Hitung parasit setiap 12-24 jam.
Hb & Ht setiap hari.
Gula darah setiap 4 jam.
Parameter lain sesuai indikasi ( misal : ureum, creatinin & kalium darah pada komplikasi gagal ginjal ).
Pemeriksaan derajat kesadaran (modifikasi Glasgow coma score)
Obat-obat berikut dahulu pernah dipakai untuk pengobatan malaria serebral tetapi menurut WHO sekarang tidak boleh dipakai karena berbahaya, yaitu :
? Dexamethason dan Kotikosteroid lainnya
? Obat anti inflamasi yang lain
? Anti udem serebral (urea, manitol)
? Dextran berat molekul rendah
? Epinephrine (adrenalin)
? Heparin.
Penatalaksanaan pasien koma
Selalu memakai prinsip ABC ( A=Airway, B=Breathing, C=Circulation) + D=Drug [defibrilasi].
Airway ( jalan nafas ) :
Jaga jalan nafas agar selalu bersih/tanpa hambatan, dengan cara :
Bersihkan jalan nafas dari saliva, muntahan, dll
Pasien posisi lateral
Tempat tidur datar/tanpa bantal.
Mencegah aspirasi cairan lambung masuk ke saluran pernafasan, dengan jalan : posisi lateral dan pemasangan NGT untuk menyedot isi lambung.
Breathing (pernafasan) :
Bila takipnoe, pernafasan asidosis : berikan penunjang ventilasi , misal : O2, dan rujuk ke ICU.
Circulation (kardiovaskular) :
Periksa dan catat : Nadi, tensi, JVP, CVP (bila memungkinkan), turgor kulit, dll.
Jaga keseimbangan cairan : lakukan monitoring balans cairan dengan mencatat intake dan output cairan secara akurat.
Pemasangan kateter urethra dengan drainage/bag tertutup untuk mengukur volume urin. Bila fungsi ginjal baik, adanya dehidrasi atau overhidrasi dapat juga diketahui dari volume urin. Normal volume urin : 1 ml/menit [1 ml/kg BB/jam]. Bila volume urin < 30 ml/jam, mungkin terjadi dehidrasi (periksa juga tanda-tanda lain dehirasi), maka tambahkan intake cairan melalui IV-line. Bila volume urin > 90 ml/jam, kurangi intake cairan untuk mencegah overload yang mengakibatkan udem paru.
2. Anemia berat ( Hb < 5 gr % )
Bila Ht < 15 % atau Hb < 5 g %, tindakan :
Berikan transfusi darah 10 ? 20 ml/kgBB [rumus: tiap 4 ml/kg BB darah akan menaikkan Hb 1 g%] paling baik darah segar atau PRC, dengan memonitor kemungkinan terjadinya overload karena pemberian transfusi darah dapat memperberat kerja jantung. Untuk mencegah overload, dapat diberikan furosemide 20 mg IV. Pasien dengan gagal ginjal hanya diberikan PRC. Volume transfusi dimasukkan sebagai input dalam catatan balans cairan.
3. Hypoglikemia (Gula darah < 40 mg %)
Sering terjadi pada penderita malaria berat terutama anak usia < 3 tahun, ibu hamil sebelum atau sesudah pemberian terapi kina (kina menyebabkan hiperinsulinemia), maupun penderita malaria berat lain dengan terapi kina. Penyebab lain diduga karena terjadi peningkatan uptake glukosa oleh parasit malaria.
Tindakan :
a. Berikan 10 ? 100 ml Glukosa 40 % IV secara injeksi bolus (anak-anak : 1 ml/Kg BB)
b. Infus glukosa 5 % atau 10 % perlahan-lahan untuk mencegah hipoglikemia berulang.
c. Monitoring teratur kadar gula darah setiap 4-6 jam.
Bila sarana pemeriksaan gula darah tidak tersedia, pengobatan sebaiknya diberikan berdasarkan kecurigaan klinis adanya hipoglikemia.
4. Kolaps sirkulasi, syok hipovolume, hipotensi, ?Algid malaria? dan septikaemia
Sering terlihat pada pasien-pasien dengan :
Dehidrasi dengan hipovolemia (akibat muntah-muntah dan intake cairan kurang)
Pasien dengan diare dan peripheral circulatory failure (algid malaria)
Perdarahan masif GI tract
Mengikuti ruptur limpa
Dengan komplikasi septikaemia gram negative
Kolaps sirkulasi lebih lanjut berakibat komplikasi asidosis metabolik, respiratory distress dan gangguan fungsi / kerusakan jaringan.
Gejala : hipotensi dengan tekanan sistolik < 70 mm Hg pada orang dewasa dan < 50 mm Hg pada anak-anak, konstriksi vena perifer.
Gejala khas : kulit dingin, suhu 38-40 oC, mata cekung, cianosis pada bibir dan kuku, nafas cepat, nadi cepat dan dangkal, nyeri ulu hati, dapat disertai mual/muntah, diare berat.
Tindakan :
Koreksi hipovolemia dengan pemberian cairan yang tepat (NaCL 0,9 %, ringer laktat, dextrose 5 % in saline), plasma expander (darah segar, plasma, haemacell atau bila tidak tersedia dengan dextran 70) dalam waktu 1/2 - 1 jam pertama 500 ml, bila tidak ada perbaikan tensi dan tidak ada overhidrasi, beri 1000 ml, tetes diperlambat dan diulang bila dianggap perlu.
Bila memungkinkan, monitor dengan CVP ( tekanan dipelihara antara 0 s/d +5 cm)
Bila terjadi hipovolemia menetap, diberikan Dopamin dengan dosis inisial 2 ug/Kg/menit yang dilarutkan dalam dextrose 5 %. [pada hipovolemia kontra indikasi untuk pemberian inotropik karena tidak akan menaikkan TD malah menimbulkan takikardi yang justru akan merugikan. Bila hipovolemia sudah teratasi tapi TD belum naik, kemungkinan kontraktilitas miokard yang jelek ? diperbaiki dengan pemberian Dobutamin, bukan Dopamin, dengan dosis sampai 20 µg/kg BB/m] dosis dinaikkan secara hati-hati sampai tekanan sistolik mencapai 80-90 mm Hg.
Periksa kadar gula darah untuk menyingkirkan kemungkinan hipoglokemia.
Buat kultur darah dan resistensi test. Mulai segera pemberian antibiotik broad spektrum, misal : generasi ketiga sefalosporin bila tersedia, yang dapat dikombinasi dengan aminoglikosida bila fungsi renal sudah dipastikan baik (periksa juga ureum & kreatinin darah)
Apabila CVP tidak mungkin dilakukan, monitoring dan pencatatan balas cairan secara akurat sangat membantu agar tidak terjadi overhidrasi.
Pada Anak-anak :
Lakukan Rehidrasi (Pemberian cairan infus), larutan dektrosa 5 % atau 10 % atau NaCL 0,9 %, Dosis 1 jam pertama, 30 ml/kgBB atau 10 x kgBB per tetes/menit. Misalnya : anak dengan BB 10 kg = 10 x 10 tetes/menit, dilanjutkan 20 ml/kgBB (23Jam sisa), atau 7 tetes x kgBB/menit, dilanjutkan pemberian maintenace 10 ml/kgBB/hari atau 3 tetes/kgBB/menit
Awasi nadi, tensi dan pernafasan setiap 30 menit.
5. Gagal ginjal akut (acute renal failure / ARF )
Terjadi sebagai akibat hipovolemia atau ischemik sehingga terjadi gangguan mikrosirkulasi ginjal yang menurunkan filtrasi glomerulus. Paling sering terjadi gagal ginjal pre-renal akibat dehidrasi diatas (>50 %), sedangkan gagal ginjal renal akibat tubuler nekrosis akut hanya terjadi pada 5-10 % penderita. Namun ARF sering terdeteksi terlambat setelah pasien sudah mengalami overload (dekompensasi kordis) akibat rehidrasi yang berlebihan (overhidrasi) pada penderita dengan oliguria/anuria, dan karena tidak tercatatnya balans cairan secara akurat.
Pada pasien severe falciparum malaria, bila memungkinkan sebaiknya kadar serum kreatinin diperiksa 2-3 x/minggu.
Bila terjadi oliguria (volume urin < 400 ml/24 jam atau < 20 ml/jam pada dewasa atau < 0,5 ml/Kg BB/jam pada anak-anak setelah diobservasi/diukur selama 4-6 jam) disertai tanda klinik dehidrasi maka berikan cairan untuk rehidrasi dengan terus berhati-hati/ mengawasi apakah ada tanda-tanda overload.
Untuk itu awasi semua tanda-tanda vital, monitoring balans cairan, pemeriksaan auskultasi paru, jugular venous pressure (JVP) dan central venous pressure (CVP) bila tersedia dan observasi volume urin.
Bila terjadi anuria. Berikan diuretik : Furosemid inisial 40 mg IV, observasi urin output. Bila tidak ada respon, dosis furosemid ditingkatkan progresif sampai maksimum 200 mg [dosis furosemid: 10-30 mg/jam] dengan interval 30 menit. Bila masih tidak respon (urin output ( - ) atau < 120 ml/2jam) periksa kadar ureum & kreatinin serum karena mungkin telah terjadi ARF.
Persiapkan penderita untuk dialisis atau rujuk ke RS dengan fasilitas dialisis bila terjadi ARF. ARF biasanya reversibel apabila ditanggulangi secara cepat dan tepat.
ARF yang disertai tanda-tanda overload (dekompensasi jantung) sangat berbahaya bila tidak ditanggulangi secara cepat.
Tanda-tanda overload dari ringan sampai berat berupa : batuk-batuk, tensi meningkat/sedikit meningkat, nadi cepat, auskultasi paru ada ronki basah di basal bilateral paru, auskultasi jantung mungkin terdengar bunyi jantung tambahan (bunyi ke 3) dan JVP meningkat, serta pasien terlihat agak sesak sampai sesak nafas berat.
Bila ada tanda-tanda overload, segera hentikan pemberian cairan.
Rencanakan dialisis dengan ultrafiltrasi atau peritoneal dialisis, atau rujuk ke RS dengan fasilitas dialisis.
Periksa juga kadar elektrolit darah dan EKG bila tersedia untuk mencari terjadinya hiperkalemia, asidosis metabolik serta gangguan keseimbangan asam-basa.
Catatan :
Normal kadar ureum darah : 20 - 40 mg/dl, kreatinin N : 0,8 ? 1,1 mg/dl.
Indikasi dialisis :
Klinik :
Tanda-tanda uremik
Tanda-tanda volume overload
Pericardial friction rub
Pernafasan asidosis setelah rehidrasi
Indikasi laboratorium :
Hiperkalemia (K > 6,5 mEq/L, hiperkalemia dapat juga didiagnosis melalui EKG)
Peningkatan ureum dengan uremic syndrome.
6. Perdarahan & gangguan pembekuan darah (coagulopathy)
Perdarahan dan koagulopathi jarang ditemukan di daerah endemis pada negara-negara tropis. Sering terjadi pada penderita yang non-imun terhadap malaria. Biasanya terjadi akibat trombositopenia berat ditandai manifestasi perdarahan pada kulit berupa petekie, purpura, hematom atau perdarahan pada hidung, gusi dan saluran pencernaan.
Gangguan koagulasi intra vaskuler jarang terjadi.
Tindakan :
Beri vitamin K injeksi dengan dosis 10 mg intravena bila protrombin time atau partial tromboplastin time memanjang.
Periksa Hb : bila < 5 gr% direncanakan transfusi darah, 10 ? 20 ml /kgBB
Hindarkan pemberian korttikosteroid untuk trombositopenia.
Perbaiki keadaan gizi penderita.
7. Edema paru
Edem paru sering timbul belakangan dibanding komplikasi akut lainnya.
Edema paru terjadi akibat :
ARDS (Adult respiratory distress syndrome) [tanda-tanda ARDS: timbul akut, ada gambaran bercak putih pada foto toraks di kedua paru, rasio PaO2:FiO2 < 200, tidak ada gejala gagal jantung kiri]
Over hidrasi akibat pemberian cairan.
ARDS terjadi secara tidak langsung karena peningkatan permeabilitas kapiler di paru.
ARDS dan overload cairan, keduanya dapat terjadi sendiri-sendiri atau bersamaan.
Bentuk klinik ARDS : - Takipnoe (nafas cepat) pada fase awal
- Pernafasan dalam
- Sputum : ada darah dan berbusa.
- X-ray : ada bayangan pada kedua sisi paru dan hipoksaemia.
Perbedaan ARDS dengan fluid overload :
ARDS Fluid overload
Balans cairan Normal Input > output
CVP Normal Meninggi
Tekanan A. Pulmonal Normal Meninggi
JVP Normal Meninggi
Tindakan :
Bila ada tanda udema paru akut penderita segera dirujuk, dan sebelumnya dilakukan tindakan sebagai berikut :
1. Akibat ARDS
a. Pemberian oksigen
b. PEEP (positive end-respiratory pressure) bila tersedia.
2. Akibat over hidrasi :
- Pembatasan pemberian cairan
- Pemberian furosemid 40 mg i.v bila perlu diulang 1 jam kemudian atau dosis ditingkatkan sampai 200 mg (maksimum) sambil memonitor urin output dan tanda-tanda vital.
- Rujuk segera bila overload tidak dapat diatasi.
- Untuk kondisi mendesak (pasien kritis) dimana pernafasan sangat sesak, dan tidak cukup waktu untuk merujuk pasien, lakukan :
? Posisi pasien ½ duduk.
? Venaseksi, keluarkan darah pasien kedalam kantong transfusi/donor sebanyak 250-500 ml akan sangat membantu mengurangi sesaknya. Apabila kondisi pasien sudah normal, darah tersebut dapat dikembalikan ketubuh pasien.
8. Jaundice ( bilirubin > 3 mg%)
Manifestasi ikterus pada malaria berat sering dijumpai di Asia dan Indonesia yang mempunyai prognosis jelek.
Tindakan :
1. Tidak ada terapi khusus untuk jaundice. Bila ditemukan hemolisis berat dan Hb sangat menurun maka beri transfusi darah.
2. Bila fasilitas tidak memadai penderita sebaiknya segera di rujuk.
9. Asidosis metabolik
Asidosis dalam malaria dihasilkan dari banyak proses yang berbeda, termasuk diantaranya : obstruksi mikrosirkulasi, disfungsi renal, peningkatan glikolisis, anemia, hipoksia, dan lain-lain. Oleh karena itu asidosis metabolik sering ditemukan bersamaan dengan komplikasi lain seperti : anemia berat, ARF, hipovolemia, udem paru dan hiperparasitemia yang ditandai dengan peningkatan respirasi (cepat dan dalam), penurunan PH dan bikarbonat darah. Penyebabnya karena hipoksia jaringan dan glikolisis anaerobik. Diagnosis dan manajemen yang terlambat akan mengakibatkan kematian.
Tindakan :
a. Lakukan pemeriksaan kadar Hb. Bila penyebabnya karena anemia berat (Hb < 5 g%), maka beri transfusi darah segar atau PRC.
b. Lakukan pemeriksaan analisa gas darah, bila pH < 7,15 lakukan koreksi dengan pemberian larutan natrium bikarbonat [hati-hati koreksi dengan bicarbonat dapat meningkatkan PaCO2] melalui IV-line (walau sebenarnya pemberian natrium bikarbonat masih kontroversial). Koreksi pH arterial harus dilakukan perlahan 1-2 jam
c. Bila sesak nafas, beri O2.
d. Bila tidak tersedia fasilitas yang memadai sebaiknya penderita segera di rujuk
10. Blackwater fever (malarial haemoglobinuria)
Pasien dengan defisiensi G-6-PD dapat terjadi hemolisis intravascular dan hemoglobinuria yang dipresipitasi oleh primakuin dan obat-obat oksidan yang dipakai sebelum terkena malaria. Hemoglobinuria dihasilkan dari masifnya hemolisis. Tidak berhubungan dengan disfungsi renal secara signifikan. Blackwater biasanya sementara dan dapat berubah tanpa komplikasi. Namun dapat juga menjadi gagal ginjal akut dalam kasus-kasus yang berat.
Tindakan :
? Berikan cairan rehidrasi, monitor CVP.
? Bila Ht < 20 %, beri transfusi darah
? Lanjutkan pemberian kemoterapi anti malaria.
? Bila berkembang menjadi ARF, rujuk ke rumah sakit dengan fasilitas hemodialisis.
11. Hiperparasitemia.
Umumnya pada penderita yang non-imun, densitas parasit > 5 % dan adanya skizontaemia sering berhubungan dengan malaria berat. Tetapi di daerah endemik tinggi, sebagian anak-anak imun dapat mentoleransi densitas parasit tinggi (20-30 %) sering tanpa gejala.
Penderita dengan parasitemia tinggi akan meningkatkan resiko terjadinya komplikasi berat.
Tindakan :
1. Segera berikan kemoterapi anti malaria inisial.
2. Awasi respon pengobatan dengan memeriksa ulang parasitemianya.
3. Indikasi transfusi tukar (Exchange Blood Transfusion/EBT) adalah :
? Parasitemia > 30 % tanpa komplikasi berat
? Parasitemia > 10 % disertai komplikasi berat lainnya seperti : serebral malaria, ARF, ARDS, jaundice dan anemia berat.
? Parasitemia > 10 % dengan gagal pengobatan setelah 12-24 jam pemberian kemoterapi anti malaria yang optimal.
? Parasitemia > 10 % disertai prognosis buruk (misal : lanjut usia, adanya late stage parasites/skizon pada darah perifer)
4. Pastikan darah transfusi bebas infeksi (malaria, HIV, Hepatitis)
V. PENGOBATAN PENCEGAHAN (KEMOPROFILAKSIS)
Obat yang dipakai untuk tujuan ini pada umumnya bekerja terutama pada tingkat eritrositer, hanya sedikit yang berefek pada tingkat eksoeritrositer (hati). Obat harus digunakan terus-menerus mulai minimal 1 ? 2 minggu sebelum berangkat sampai 4 ? 6 minggu setelah keluar dari daerah endemis malaria.
OAM yang dipakai dalam kebijakan pengobatan di Indonesia adalah :
Klorokuin : banyak digunakan karena murah, tersedia secara luas, dan relatif aman untuk anak-anak, ibu hamil maupun ibu menyusui. Pada dosis pencegahan obat ini aman digunakan untuk jangka waktu 2-3 tahun. Efek samping : gangguan GI Tract seperti mual, muntah, sakit perut dan diare. Efek samping ini dapat dikurangi dengan meminum obat sesudah makan.
Pencegahan pada anak :
OAM yang paling aman untuk anak kecil adalah klorokuin. Dosis : 5 mg/KgBB/minggu. Dalam bentuk sediaan tablet rasanya pahit sehingga sebaiknya dicampur dengan makanan atau minuman, dapat juga dipilih yang berbentuk suspensi.
Untuk mencegah gigitan nyamuk sebaiknya memakai kelambu pada waktu tidur.
Obat pengusir nyamuk bentuk repellant yang mengandung DEET sebaiknya tidak digunakan untuk anak berumur < 2 tahun.
Pencegahan perorangan
Dipakai oleh masing-masing individu yang memerlukan pencegahan terhadap penyakit malaria. Obat yang dipakai : Klorokuin.
Cara pengobatannya :
- Bagi pendatang sementara :
Klorokuin diminum 1 minggu sebelum tiba di daerah malaria, selama berada di daerah malaria dan dilanjutkan selama 4 minggu setelah meninggalkan daerah malaria.
- Bagi penduduk setempat dan pendatang yang akan menetap :
Pemakaian klorokuin seminggu sekali sampai lebih dari 6 tahun dapat dilakukan tanpa efek samping. Bila transmisi di daerah tersebut hebat sekali atau selama musim penularan, obat diminum 2 kali seminggu. Penggunaan 2 kali seminggu dianjurkan hanya untuk 3 ? 6 bulan saja.
Dosis pengobatan pencegahan : Klorokuin 5 mg/KgBB atau 2 tablet untuk dewasa.
Lihat tabel berikut :
Golongan umur (tahun) Jumlah tablet klorokuin (dosis tunggal)
( frekuensi 1 x seminggu )
0 ? 1 ¼
1 ? 4 ½
5 ? 9 1
10 ? 14 1 ½
> 15 2
Pencegahan kelompok
Ditujukan pada sekelompok penduduk, khususnya pendatang non-imun yang sedang berada di daerah endemis malaria. Pencegahan kelompok memerlukan pengawasan yang lebih baik. Obat diberikan melalui unit pelayanan kesehatan, pos-pos pengobatan malaria yang dibentuk sendiri oleh penduduk di wilayah tersebut, atau melalui pos obat desa (POD) yang di dalmnya menyediakan obat-obatan lain selain obat anti malaria.
Dosis dan cara pengobatan sama seperti pengobatan pencegahan perorangan.
VI. PROGNOSIS
1. Prognosis malaria berat tergantung kecepatan diagnosa dan ketepatan & kecepatan pengobatan.
2. Pada malaria berat yang tidak ditanggulangi, maka mortalitas yang dilaporkan pada anak-anak 15 %, dewasa 20 %, dan pada kehamilan meningkat sampai 50 %.
3. Prognosis malaria berat dengan kegagalan satu fungsi organ lebih baik daripada kegagalan 2 fungsi organ
? Mortalitas dengan kegagalan 3 fungsi organ, adalah > 50 %
? Mortalitas dengan kegagalan 4 atau lebih fungsi organ, adalah > 75 %
? Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan klinis malaria berat yaitu:
? Kepadatan parasit < 100.000, maka mortalitas < 1 %
? Kepadatan parasit > 100.000, maka mortalitas > 1 %
? Kepadatan parasit > 500.000, maka mortalitas > 50 %
VI. RUJUKAN PENDERITA
Semua penderita malaria berat dirujuk / ditangani RS Kabupaten.
Apabila penderita tidak bersedia dirujuk dapat dirawat di puskesmas rawat inap dengan
konsultasi kepada dokter RS Kabupaten.
Bila perlu RS kabupaten dapat pula merujuk kepada RS Propinsi.
Cara merujuk :
1) Setiap merujuk penderita harus disertakan surat rujukan yang berisi tentang diagnosa, riwayat penyakit, pemeriksaan yang telah dilakukan dan tindakan yang sudah diberikan.
2) Apabila dibuat preparat SD malaria, harus diikutsertakan.
Kriteria penderita malaria yang dirawat inap :
Bila salah satu atau lebih dari gejala dibawah ini :
1. Malaria dengan komplikasi
2. Malaria congenital pada bayi
3. Hiperparasitemia. (Parasitemia > 5 %)
sumber: infeksi.com
WHO
WHO is the directing and coordinating authority for health within the United Nations system. It is responsible for providing leadership on global health matters, shaping the health research agenda, setting norms and standards, articulating evidence-based policy options, providing technical support to countries and monitoring and assessing health trends.In the 21st century, health is a shared responsibility, involving equitable access to essential care and collective defence against transnational threats. sumber: wikipedia
Monday, March 10, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment